Ilustrasi (dok. kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Terkuaknya dokumen finansial Panama Papers yang disebut-sebut mencantumkan 2.961 nama orang Indonesia dari total 4,8 juta email dari seluruh dunia, tak membuat pemerintah Indonesia lantas gesit bergerak untuk menindak-lanjuti temuan tersebut.
Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sujanarko, dalam seminar tentang Panama Papers di UGM, baru-baru ini, menyayangkan, dokumen Panama Papers yang sebenarnya sudah ada sejak 2006 itu tidak segera diusut tuntas. Padahal, data di Panama Papers menyebutkan adanya upaya penggelapan pajak dan pencucian uang yang dilakukan pengusaha dari Indonesia.
“Ketua BPK ada di dalam daftar Panama Paper dan apalagi sampai sekarang tidak lapor LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara),” sebutnya seperti dikutip laman UGM.
Menurutnya, jika pemerintah Inonesia tidak melakukan pengusutan, maka akan sulit pula untuk meminta bantuan negara luar untuk membantu nantinya.
Sementara, Anggota Kantor Staf Presiden, Bimo Wijayanto berdalih bahwa data dari Panama Papers masih perlu dibuktikan tingkat kebenarannya agar bisa dijadikan alat bukti mengusut kasus penggelapan pajak.
Bimo mengaku, selama ini, belum ada kerja sama tax treaty (perjanjian perpajakan) antara Indonesia dan Panama, sehingga perlu adanya dorongan untuk membuat perjanjian kerja sama antara Indonesia dengan negara tersebut.
“Yang bisa diajukan paling dekat adalah melihat tax amnesti sebagai pintu masuk,” anggapnya.
Ekonom UGM, Rimawan Pradiptyo berpendapat, Undang-undang Perpajakan, Undang-undang Perbankan dan Undang-undang Tipikor yang ada saat ini sudah tertinggal dari negara lain. Akibatnya, ketika muncul dokumen Panama Papers, aparat penegak hukum seolah tidak bisa berbuat banyak. Terlebih, kejahatan finansial itu dilakukan di negara lain.
“Penegak hukum seharusnya mengejar ketertinggalan, mengikuti pola dan inovasi kejahatan sehingga dibuat sistem penanggulangannya,” pintanya. (Rep-03/Ed-03)