Ilustrasi (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Penutupan sementara layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di sejumlah Rumah Sakit (RS), termasuk Rumah Sakit Islam Hidayatullah (RSIH) Yogyakarta mengundang perhatian publik.
Ketua Lembaga Konsumen Yogyakarta ( LKY), Saktyarini Hastuti berpendapat, ketika BPJS Kesehatan yang melakukan pemutusan kontrak kerjasama tersebut, Fasilitas Kesehatan (Faskes) seperti RSIH memang tak bisa berbuat banyak karena itu menyangkut pembayaran klaim asuransi kesehatan, bagi pasien BPJS.
“Nanti klaimnya siapa yang akan membayari? kecuali, rumah sakit itu memang mempunyai kebijakan internal untuk menanggung sendiri pembiayaannya. Artinya fungsi sosial masih dimiliki oleh rumah sakit,” kata Tutik, saat dihubungi kabarkota.com, 12 Januari 2019.
Di sisi lain, pemutusan kerjasama BPJS dengan sejumlah RS yang dinilai belum memenuhi akreditasi, lanjut Tutik, sebenarnya juga merupakan bagian dari upaya perlindungan konsumen. Terlebih, masih banyak layanan kesehatan yang kurang baik.
“Kalau (faskes) belum terakreditasi melayani pasien, kemudian terjadi hal-hal tak diinginkan yang merugikan pasien, nanti juga repot menanganinya,” tegasnya.
Oleh karena itu, yang terpenting menurutnya adalah efektifitas dan efisiensi dalam mengurus akreditasi RS, sehingga tidak menyulitkan pasien untuk mengakses BPJS.
Selama masa tenggang tersebut, lanjut Tutik, pasien BPJS yang biasa dirujuk ke faskes tersebut oleh PPK satu, perlu diarahkan ke rumah sakit lain untuk penanganan medisnya. Sebab, orang yang sakit, tak bisa ditangguhkan sakitnya.
“Intinya, jangan sampai karena birokrasi, pasien terabaikan haknya,” harap ketua LKY.
Apa Alasan di Balik Pemutusan Kontrak Kerjasama?
Sebelumnya, pada 7 Januari 2019, di Kantor Kementerian Kesehatan RI, Menteri Kesehatan (Menkes), Nila Farid Moeloek dan Direktur Utama (Dirut) BPJS Kesehatan, Fachmi Idris menyepakati bahwa perpanjangan kerja sama dengan RS yang belum terakreditasi agar tetap dapat memberikan pelayanan bagi peserta JKN-KIS bersyarat. Kesepakatan tersebut dibuat, pasca BPJS memutus kontrak kerjasama dengan sejumlah RS yang dinilai belum memenuhi akreditasi.
Akreditasi sendiri merupakan bentuk perlindungan pemerintah dalam memenuhi hak setiap warga negara, agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan bermutu oleh fasilitas pelayanan kesehatan sesuai amanat pasal 28H ayat (1) dan pasal 34 ayat (3) UUD Tahun 1945.
“Kegiatan ini dilaksanakan menggunakan standar akreditasi berupa instrumen yang mengintegrasikan kegiatan tata kelola manajemen dan tata kelola klinis guna meningkatkan mutu pelayanan RS dengan memperhatikan keselamatan pasien, serta meningkatkan profesionalisme RS Indonesia di mata internasional,” jelas Menkes, melalui laman BPJS Kesehatan, 8 Januari 2019.
Sedangkan kewajiban RS untuk melaksanakan akreditasi diatur dalam beberapa regulasi. Diantaranya, UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; Permenkes No 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit; Permenkes No 34 Tahun 2017 tentang Akreditasi Rumah Sakit; dan Permenkes No 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional.
Kegiatan akreditasi sebagai persyaratan kerjasama dengan BPJS Kesehatan itu semestinya diberlakukan sejak awal tahun 2014, seiring dengan pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia. Namun, ketentuannya diperpanjang hingga 1 Januari 2019, sebagaimana diatur dalam Permenkes No 99 Tahun 2015, khusunya pasal 41 ayat (3) yang merupakan perubahan pertama Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013.
“Akreditasi ini tidak hanya melindungi masyarakat, namun juga melindungi tenaga kesehatan yang bekerja di RS tersebut, serta RS itu sendiri,” jelas Menkes.
Kementerian Kesehatan, kata Nila, juga telah mengeluarkan dua surat rekomendasi perpanjangan kontrak kerja sama bagi RS yang belum terakreditasi, melalui surat Menteri Kesehatan Nomor HK. 03.01/MENKES/768/2018 dan HK.03.01/MENKES/18/2019. Dalam surat tersebut, RS yang bersangkutan tetap dapat melanjutkan kerja sama dengan BPJS kesehatan. Selain itu, surat rekomendasi diberikan setelah RS itu memberikan komitmen untuk melakukan akreditasi sampai dengan 30 Juni 2019 mendatang.
Sementara, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris juga menambahkan, pasien JKN-KIS tetap bisa berkunjung ke RS dan memperoleh pelayanan kesehatan dengan normal seperti biasanya. Karenanya, Idris mengimbau agar masyarakat tak terlalu khawatir dengan kebijakan ini.
Putusnya kerja sama RS dengan BPJS Kesehatan, tegas Fachmi, bukan sekedar faktor akreditasi. Ada juga RS yang diputus kerja samanya karena tidak lolos kredensialing (uji kelayakan) atau sudah tidak beroperasi. Dalam proses ini juga mempertimbangkan pendapat Dinas Kesehatan dan/atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan setempat, dan memastikan bahwa pemutusan kontrak tidak mengganggu pelayanan kepada masyarakat dengan melalui pemetaan analisis kebutuhan fasilitas kesehatan di suatu daerah.
Adapun kriteria teknis yang menjadi pertimbangan BPJS Kesehatan untuk menyeleksi fasilitas kesehatan yang ingin bergabung antara lain sumber daya manusia (tenaga medis yang kompeten), kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, dan komitmen pelayanan. (Rep-02/Ed-03)