Ilustrasi (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pasca aksi pembubaran acara Peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional (WPFD) di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, 3 Mei 2016 lalu, hingga kini sejumlah jurnalis masih merasa terintimidasi dan terdiskriminasi saat melakukan tugas peliputan.
Hal itu terungkap, berdasarkan laporan sejumlah anggota AJI Yogyakarta yang mengaku plat nomer sepeda motornya sempat dicatat oleh pihak yang mengatasnamakan Intel Polresta Yogyakarta saat meliput proses pelaporan Gerakan Warga #SelamatkanJogja ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jateng-DIY, Rabu (11/5/2016) lalu.
“Hari itu, Gerakan Warga #SelamatkanJogja melaporkan Kabag Ops Polresta Yogyakarta Kompol Sigit Haryadi ke ORI Perwakilan Jateng-DIY. Kompol Sigit memimpin pembubaran peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional dan mengaku mendapat perintah dari Kapolda DIY Brigjen Pol Prasta Wahyu Hidayat. Sementara sehari setelah peristiwa pembubaran, Rabu 4 Mei 2016 pagi, Brigjen Prasta membantah telah memerintahkan Kompol Sigit untuk membubarkan acara peringatan WPFD 2016,” kata Anang Zakaria melalui siaran pers yang diterima kabarkota.com, Kamis (12/5/2016).
Selain merasa terintimidasi, lanjut Anang, para jurnalis juga mendapat sejumlah pertanyaan yang terkait dengan tugas pers ketika akan meminta tanggapan dari kepolisian. Pihaknya mencontohkan, beberapa jurnalis AJI mendapatkan pertanyaan “Kamu dari kelompok wartawan yang mana?” sebelum mewawancarai Kapolresta Yogyakarta, Prihartono Eling Lelakon terkait kasus laporan Gerakan Warga #SelamatkanJogja ke ORI Perwakilan Jateng-DIY.
Stigma yang muncul kemudian adalah jurnalis yang mewartakan kasus pembubaran peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional di AJI Yogyakarta tidak pro kepolisian.
Intimidasi kepada jurnalis AJI Yogyakarta juga berbentuk kedatangan sejumlah orang yang mengaku intel dari kepolisian maupun tentara secara bergantian ke Sekretariat AJI Yogyakarta.
“Pada jurnalis AJI Yogyakarta yang kebetulan berada di Sekretariat, mereka menanyakan sejumlah informasi tentang AJI, program, hingga peristiwa pembubaran peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional pada 3 Mei 2016. Selain itu, mereka juga memotret Sekretariat dari berbagai sisi,” imbuhnya.
Atas berbagai peristiwa tersebut di atas, AJI Yogyakarta menganggap adanya upaya pembungkaman kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat. Padahal, Konstitusi RI telah menjamin hak tersebut dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, jaminan hak asasi manusia atas kemerdekaan berekspresi diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Selain itu, AJI Yogyakarta juga menduga, adanya upaya pembatasan dan pengekangan pers dalam menjalankan tugas. Sensor berita berlangsung dalam bentuk intimidasi dan diskriminasi terhadap jurnalis dalam mendapatkan informasi. Padahal negara telah memberikan jaminan pers dalam menjalankan tugasnya melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Oleh karenanya, Anang mendesak agar Dewan Pers dan Pemerintah bertindak tegas menegakkan hukum atas kondisi ini, agar kejadian serupa tidak terus berlanjut dan terulang. (Rep-03/Ed-03)