Ilustrasi (radarpena.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Pasca reformasi 1998, politik di Indonesia mengalami perkembangan di posisi atas. Namun sayangnya, kualitas regulasi birokrasi justru jauh lebih buruk dibanding negara-negara tetangga.
Pakar Administrasi Publik UGM, Agus Pramusinto dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Selasa (1/3/2016) mengungkapkan, berdasarkan data tentang ‘Kemudahan Melakukan Bisnis’, jumlah prosedur di Indonesia sebanyak 10 jenis, jauh lebih banyak dibandingkan Malaysia yang hanya 3 jenis dan Thailand 4 jenis.
“Bagitu pula untuk waktu pengurusan, di Indonesia memerlukan 48 hari, sementara di Malaysia hanya 6 hari dan Thailand 27,5 hari,” sebutnya seperti dilansir laman UGM.
Data World Bank menyebutkan bahwa di tahun 2014, Malaysia dan Singapura memiliki nilai 75 dan 100, sedangkan Indonesia hanya mengantongi nilai 49.
Data survei World Bank tersebut tidak berbeda dengan realitas di lapangan. Di bidang regulasi bisnis, untuk berinvestasi memerlukan proses yang sangat rumit. Jika dibanding negara lain, regulasi di Indonesia jauh lebih banyak, rumit dan tidak memperbaiki layanan kualitas pelayanan.
Agus juga menambahkan, untuk mengurus izin pergi ke luar negeri saja prosesnya memakan waktu 2 bulan. Sementara undangan untuk internasional conference atau kerja sama sering kali baru datang sebulan sebelum kegiatan dilaksanakan.
Menurutnya, dalam 10 tahun terakhir reformasi birokrasi telah menjadi kajian di berbagai negara. Jika di negara maju reformasi birokrasi berjalan karena didorong oleh kepentingan internal birokrasi yang secara sadar memiliki komitmen untuk memperbaiki diri, maka di negara berkembang reformasi yang berbasis suplai (supply side reform) cenderung tidak efektif dalam melakukan perubahan.
“Kalau pun dari dalam muncul upaya reformasi, perubahan tersebut sering kali hanya bersifat semu dan formalitas. Karena itu, reformasi birokrasi di Indonesia harus didorong melalui sisi lain, yakni permintaan dari luar birokrasi (demand side reform),” papar Agus.
Dengan demand side reform ini, menurut Agus Pramusinto, penguatan peran masyarakat sipil, dunia usaha dan media menjadi komponen yang sangat penting.
Mereka, lanjut Agus, harus terlibat dalam proses perumusan arah reformasi, memonitor kegiatan dan evaluasi capaian reformasi. Dengan demikian, keberhasilan reformasi birokrasi nantinya dinilai oleh warga penerima layanan, bukan oleh internal birokrasi. (Rep-03/Ed-03)