Ilustrasi (dok. wikipedia)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid oleh Banser di Garut, Jawa Barat tak sekedar memancing kemarahan sebagian umat Islam, tapi juga sampai ke ranah hukum.
Pengamat Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Trisno Raharjo berpendapat, kasus tersebut bisa masuk dalam pasal penodaan agama, dengan ancaman maksimal lima tahun penjara.
Menurutnya, persoalan tafsir bendera menjadi hal yang menarik dalam kasus ini, karena ada yang melihat bahwa bendera yang dibakar itu sebagai bendera ormas yang telah dibubarkan. Tapi, ada juga yang melihatnya sebagai kalimat tauhid.
“Bila sampai ke pengadilan, maka hakim akan berada dalam posisi tidak dapat menghindar dari melihat sebagai apa?” kata Trisno kepada kabarkota.com, Selasa (23/10/2018) malam.
Jika dilihat sebagai kalimat tauhid, lanjut Trisno, maka bendera tersebut menjadi bendera yang tidak terikat dengan organisasi apapun di Indonesia, sehingga akan bebas digunakan siapapun dan tidak boleh dirampas. Tapi jika tak dilihat sebagai bendera tauhid, maka akan menghasilkan putusan kontroversial. Sebab itu artinya menjadi bendera yang dipersonifikasikan milik organisasi yang dibubarkan. Sedangkan sebagian umat Islam memandang itu sebagai kalimat tauhid.
“Jalan tengahnya ya persoalan ini tak sampai pengadilan. Tapi penjelasannya harus baik, seperti ada permintaan maaf dan mengakui sebagai kekhilafan. Mudah mudahan dapat diterima oleh masyarakat,” tegas anggota Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah ini.
Meskipun sebenarnya, Trisno menganggap, semua unsur penodaan agama dalam kasus tersebut sudah terpenuhi, karena tulisan tauhid tidak dapat ditafsirkan sebagai bendera milik organisasi manapun.
“Dasarnya mau hitam, putih, hijau, itu kalimat tauhid. Harus dihormati, kalau berkeberatan dan menfsirkan lain harus tetap dalam rasa hormat. Bila melihat videonya tidak terlihat rasa hormat saat melakukan perbuatan pembakaran,” sebutnya. (Rep-01)