Pembangunan Hotel, Mall, dan Apartemen tak banyak Manfaat bagi Warga Yogya

Ilustrasi: Bangunan hotel yang tinggi menjulang di wilayah Sleman (sutriyati/kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Pesatnya pembangunan pusat-pusat pertumbuhan modern, seperti hotel, mall, dan apartemen di Yogyakarta, beberapa tahun terakhir ini mendapatkan sorotan tajam dari publik. Pasalnya, pembangunan yang masif tersebut, pada kenyataannya tak banyak membawa manfaat bagi warga Yogyakarta sendiri.

Bacaan Lainnya

Direktur Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Agus Heruanto Hadna mengungkapkan, dari hasil analisis kasus di Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa pembangunan-pembangunan hotel, mall, dan apartemen itu tidak banyak memberikan kontribusi pada PDMD di sejumlah kecamatan.

“Pembangunan-pembangunan itu hasilnya ke mana?” kata Hadna di kantornya, baru-baru ini.

Jika benar-benar untuk orang Yogyakarta, menurut Hadna, semestinya bisa mengangkat kesejahteraan masyarakat yang di bawah, dan kekayaannya tidak hanya dimiliki oleh segelintir orang saja.

“Berarti kehadiran pusat-pusat pertumbuhan modern itu tidak banyak membawa manfaat pada masyarakat Yogyakarta,” anggapnya.

Pendapat serupa juga disampaikan komisioner Lembaga Ombudsman (LO) DIY, Imam Santosa yang menilai bahwa kehadiran hotel di Yogyakarta yang jumlahnya sudah begitu banyak itu tak berkorelasi pada pendapatan masyarakat setempat.

“Malah kecenderungan yang terjadi adalah konflik tambahan. Contohnya masalah air, cahaya, fasilitas warga, CSR yang tak dioptimalisasi, dan pekerja yang tak sesuai dengan konsep awal,” kata Imam kepada kabarkota.com, Selasa (16/5/2017).

Hal itu terjadi, ungkap Imam, karena sejak awal proses perizinan pembangunan pada umumnya sudah bermasalah. Kasus paling riil, tanda tangan kehadiran warga dalam sosialisasi yang dipolitisir menjadi tanda tangan persetujuan terhadap keberadaan hotel.

“Sejak awak, konteks perizinan hotel itu cukup dominan diwarnai konflik antarwarga. Jadi konfliknya malah sampai ke level warga dengan warga. Ini berbahaya” tegasnya.

Berdasarkan data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY yang dilansir sejumlah media sebelumnya menyebutkan, hingga 2016, terdapat 87 hotel berbintang dan 1.100 hotel non bintang.

Sedangkan jumlah mall saat ini diperkirakan sedikitnya 12 mall yang berdiri di Yogyakarta. Sementara pembangunan apartemen per Agustus 2015 saja sudah mencapai tujuh proyek yang dikerjakan.

Untuk menekan laju pembangunan yang pesat itu, Pemerintah Daerah (Pemda) dalam hal ini Pemerintah Kota Yogyakarta telah mengeluarkan Peraturan Walikota (Perwal) tentang Moratorium pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) hotel yang diperpanjang hingga 31 Desember 2017 mendatang

Tak hanya Kota Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman di bawah pimpinan Penjabat Bupati Sleman, Gatot Saptadi, pada 23 November 2015 juga menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) No 63 Tahun 2015 tentang Penghentian Sementara Pembangunan hotel, apartemen dan Kondotel di Sleman hingga tahun 2021.

Moratorium tersebut, menurut Imam sebagai gambaran proses awal yang benar untuk menghentikan izin, tapi juga meloloskan banyak permohonan tak sesuai izin yang kemudian menjadi catatan pentingnya.

Ia menambahkan, Pemda seharusnya melakukan penelitian ulang terhadap seluruh perizinan itu, termasuk implementasinya di lapangan. Sebab, LO DIY pernah menemukan kasus ketika di dalam perizinannya dianggap lengkap, tetapi saat dicek lokasi, ada sejumlah kelengkapan yang kurang. Padahal, bangunan sudah berdiri selama dua tahun. Ada juga yang diperizinan hanya membangun satu lantai, ternyata menjadi enam lantai.

Sementara bagi para investor ataupun pebisnis yang hendak membangun gedung di Yogyakarta, Imam menyarankan, agar bisa melakukan sosialisasi secara obyektif ke masyarakat, serta tidak menjadikan para tokoh di wilayah setempat sebagai alat bagi kekuasaan dalam proses pembangunan tersebut.

“Semua uang resmi pasti masuknya ke Negara. Tapi uang yang tak resmi ke mana?” tanya Imam. (Rep-03/Ed-03)

Pos terkait