Seminar Nasional “Implementasi Pemuliaan Pohon dalam Mendukung Perhutanan Sosial dan Kelestarian Pengelolaan Hutan Indonesia di Wisma MM UGM, pada 16 Mei 2024. (dok. kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Direktur Perencanaan dan Pengembangan (Renbang) Perum Perhutani, Endung Trihastaka mengakui bahwa pemuliaan pohon telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas kayu jati yang dikelola oleh Perhutani.
Hal tersebut diakui Endung dalam Seminar Nasional “Implementasi Pemuliaan Pohon dalam Mendukung Perhutanan Sosial dan Kelestarian Pengelolaan Hutan Indonesia di Wisma MM UGM, pada 16 Mei 2024.
Seminar Nasional ini digelar bertepatan dengan Purna Tugas Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM, Muhammad Na’iem sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Fakultas tersebut.
Endung mengungkapkan, hingga saat ini, pihaknya mengelola sekitar 2,4 juta hektar (Ha) hutan di Pulau Jawa yang terdiri atas hutan produksi dan hutan lindung. Pohon jati menjadi tanaman paling dominan sehingga mendapatkan perhatian serius dari Perhutani.
Menurutnya, sejak tahun 1981 – 1999, Perum Perhutani melalui Puslitbang telah bekerja sama dengan Fakultas Kehutanan UGM melakukan eksplorasi di hutan-hutan milik Perhutani untuk mencari pohon plus hingga ditemukan 600 pohon.
Dari temuan 600 pohon plus itu, pihaknya terus melakukan penelitian dan pemuliaan sampai berhasil menemukan total enam klon unggul yang dinamai PHT 1 hingga PHT 6, selama tahun 2009 – 2022 .
Endung menyebut, pohon plus ini memiliki sejumlah keunggulan, jika dibandingkan pohon jati biasa. Misalnya, PHT 1 yang ditebang dalam usia 14 tahun berdiameter 21 cm dengan volume 137 meter kubik per hektar. Sementara, produktivitas pohon jati biasa yang ditanam secara konvensional hanya menghasilkan 68 meter kubik per hektar, dengan usia tanam 40 tahun.
Keunggulan lainnya, sebut dia, batang kayunya lurus dari pangkal sampai ujung sehingga volumenya menjadi lebih baik.
“Jadi kesimpulan kami, pemuliaan pohon ini meningkatkan produktivitas kayu jati Perhutani,” ucapnya.
Lebih lanjut Endung menyampaikan, hingga tahun 2023, Perum Perhutani telah menanam bibit unggul pohon jati hasil pemuliaan sebanyak 483 ribu hektar atau sekitar 30 persen dari total 1,2 juta hektar kelas perusahaan jati.
Hal senada juga disampaikan Guru Besar dalam Bidang Pemuliaan Pohon pada Fakultas Kehutanan UGM, Mohammad Na’iem dalam pidato purna tugas yang bertajuk “Perkembangan Ilmu Pemuliaan Pohon dalam Meningkatkan Produktivitas dan Menjaga Kelestarian Pengelolaan Hutan.
Na’iem memaparkan, program pemuliaan pohon jati tersebut dilakukan melalui eksplorasi jati ke seluruh ras lahan di Indonesia, baik di Pulau Jawa maupun luar Jawa. Pihaknya juga membangun kebun pangkas jati, serta berbagai uji genetik jati, seperti uji keturunan maupun uji silvikultur.
“Hasil koleksi pohon plus jati tersebut kemudian kami uji keturunan (progeny test) dan uji multi lokasi untuk menguji performance setiap pohon plus terseleksi dari berbagai wilayah Perum Perhutani di Jawa ,” jelas Na’iem.
Tahapan lanjutannya, ucap Na’iem, adalah pembangunan kebun pangkas dan perhutanan klon secara masif di lapangan supaya mendapatkan hasil pertumbuhan jati yang seragam, dengan produksi kayu yang tinggi.
Hasil spektakuler dari pemuliaan pohon jati ini adalah penemuan klon unggul, yakni klon 97 dan klon 110 yang kemudian secara komersial dikenal sebagai klon Jati Plus Perhutani (JPP) I dan II.
“Klon unggul ini berdampak positif dalam pendukung program ketahanan pangan pemerintah,” anggapnya.
Dirjen PDASRH-KLHK: Bibit Unggul Kunci Keberhasilan Rehabilitasi Hutan
Di lain pihak, Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dyah Murtiningsih menuturkan, sepanjang tahun 2015 – 2023, KLHK melakukan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) seluas 1,9 juta hektar, dengan sumber pembiayaan dari APBN dan non APBN.
Dyah berpendapat bahwa penyediaan bibit dengan kualitas baik menjadi salah satu kunci keberhasilan rehabilitasi hutan. Oleh karenanya, Indonesia mempunyai 54 pusat persemaian benih dengan kapasitas 500 ribu – 1, 5 juta per tahun, dan 9 pusat persemaian besar yang kapasitas persemaian bibitnya antara 5 juta – 15 juta per tahun.
Selain itu, Dyah menganggap, linkage (keterkaitan) tapak RHL dengan pasar juga penting untuk mencapai keberhasilan tersebut. Ke depan, pihaknya bisa saja berkolaborasi dengan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), jika telah ada petanya.
APHI: Penebangan Kayu di Hutan harus Selektif
Purwadi Soeprihanto selaku Direktur Eksekutif APHI berpandangan bahwa saat ini, sektor kehutanan menghadapi tantangan yang luar biasa besar.
Kinerja Produktivitas kayu bulat terus menurun, sejala dengan penurunan jumlah Perizinan Berusaha Pemanfaataan Hutan (PBPH) dan produktivitas hutan alam. Jika di tahun 2013, hutan alam Indonesia luasnya sekitar 15 juta hektar, pada tahun 2023 turun drastis menjadi 4,5 juta hektar saja. Bahkan, jika hutan alam tidak didesain ulang, maka dalam kurun waktu 10 tahun mendatang, luasannya akan terus menurun.
“Ke depan, penebangan kayu dari hutan alam seharusnya sangat selektif,” pintanya.
Terlebih, realisasi penerapan Silvikultur Intensif (SILIN) oleh PBPH yang ditargetkan 1,4 juta hektar, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir baru terwujud sekitar 177 ribu hektar. Padahal, pengembangan model atau pola tanam pada teknik SILIN merupakan strategi pemuliaan pohon dalam hutan alam karena mampu meningkatkan produktivitas.
Untuk itu Purwadi berharap, pemuliaan pohon di PBPH perlu diperluas pengembangannya. Termasuk, link and match antara kegiatan pemuliaan pohon dengan utilisasi industri kehutanan.
Usulan Penghargaan Khusus untuk Prof Na’iem
Sementara itu, Ketua Senat Fakultas Kehutanan UGM, San Afri Awang mengusulkan agar UGM memberikan penghargaan khusus kepada Prof. Na’iem atas kontribusi nyata yang telah diakui oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta. Termasuk, penguasaan ilmu pemuliaan pohon yang termasuk langka.
“Prof. Na’eim sudah melakukan pembebasan, bagaimana pun caranya,” sebutnya.
Awang juga menyarankan agar generasi penerus Prof. Na’iem membantu penanaman bibit unggul di lahan eks Perhutani di Jawa seluas 600 ribu hektar yang termasuk Perhutanan Sosial (PS). Dengan begitu harapannya hutan bisa memberikan manfaat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Mengingat, berdasarkan hasil risetnya di Bappenas, sekitar 86 persen desa-desa di sekitar hutan yang dikelola Perhutani itu justru miskin.
“Sementara Perhutani sudah advance, ini masih ada orang miskin yang begitu banyak,” sesalnya.
Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta dalam sambutannya menilai bahwa Prof Na’iem yang telah mengabdi di UGM selama 48 tahun merupakan salah satu putra terbaik Fakultas Kehutanan UGM dan berhasil mewariskan tinggalan monumental, baik berupa kebijakan maupun produk-produk pemuliaan pohon yang kini banyak dimanfaatkan oleh perusahaan swasta dan BUMN di sektor kehutanan.
“Fakultas Kehutanan sangat berterima kasih kepada Prof Na’iem. Harapan kami, para penerus beliau bisa mewujudkan cita-cita prof Na’iem untuk membangun sektor kehutanan di Indonesia, dengan bibit-bibit unggul yang bisa menghasilkan produk kayu sangat bagus,” harapnya. (Rep-01)