Pengakuan Blak-blakan 3 Mantan Pelaku Klitih di Yogya

Ilustrasi (dok. kabarkota.com)

BANTUL (kabarkota.com) – Selain berbagai persoalan yang muncul dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), klitih juga menjadi bagian dari PR besar dunia pendidikan, khususnya di Yogyakarta. Sebab, maraknya aksi klitih selama ini, kebanyakan pelakunya masih berstatus pelajar.

Bacaan Lainnya

Sosiolog Kriminal UGM, Suprapto, dalam satu seminar pernah mengungkapkan bahwa banyak rekrutmen anggota klitih itu yang justru bermula dari sekolah.

Pernyataan tersebut, ternyata bukan isapan jempol semata, karena dari pengakuan tiga mantan pelaku klitih era 2000-an, yang ditemui kabarkota.com, pada Selasa (17/7/2018) juga mengungkapkan hal yang sama

Siswa Baru, Incaran Senior

Menjadi siswa baru di Sekolah Menengah Tingkat Atas di Yogyakarta, justru seperti mimpi buruk bagi ST, MT, dan TF ketika itu. Ketiganya sempat menjadi sasaran bullying oknum kakak kelas atau senior mereka. Perlakuan tak menyenangkan hingga kekerasan fisik pernah mereka alami, sebelum akhirnya mereka direkrut sebagai anggota geng klitih yang cukup besar, pada jamannya.

ST, salah satu siswa SMK di Yogyakarta mengaku, awalnya ia tak ingin terjerumus. Hanya saja, ketika menjadi siswa baru, dirinya sering dibully kakak kelas. Bahkan ketika di jalan, pernah dianiaya tanpa alasan yang jelas. Karena merasa takut, akhirnya meminta bantuan kakak kelas dari geng lain, dan akhirnya diajak bergabung dengan kelompok mereka. Pengakuan serupa juga datang dari MT dan TF yang berasal dari sekolah berbeda.

Miras Pintu Masuk Aksi Klitih

Tak hanya diajari tentang keberanian, berkelahi, dan mengenal simbol-simbol geng mereka, ketiganya juga dikenalkan dengan minum-minuman keras. Sementara aksi-aksi yang mereka lakukan juga tak sebatas “nglitih” (berkonvoi mencari musuh di jalanan) tetapi juga melakukan pemalakan yang mereka sebut sebagai upeti atau jatah dari siswa lain.

“Pada waktu itu, kami tidak takut dampaknya,” ungkap ST.

Bahkan dalam melakukan aksi-aksinya, mereka selalu memberi tanda tertentu, sebagai simbol eksistensi geng dan supaya disegani.

“Awal mula, kami sebagai anak muda ya biasa kepingin mencicipi minuman (miras), kemudian ingin juga mununjukkan eksistensi ke sekolah-sekolah lain, biar mereka tahu seberapa besar kekuatan (geng) sekolah kami,” ditambahkan MT, mantan pelaku klitih, dari salah satu SMA di Yogyakarta.

MT mengatakan, dalam melancarkan aksi-aksinya, mereka biasanya berombongan 10-15; orang, dengan membawa senjata tajam, serta benda-benda tumpul, dan terlebih dulu meneguk miras hingga mabuk.

Penjara tak Membuat Jera

Ironisnya, meski ST dan MT beberapa kali sempat keluar masuk penjara, namun mereka mengaku tak merasa jera dengan hukuman tersebut. Mengingat, selain tak ditahan karena masih tergolong pelaku di bawah umur, ada solidaritas dari geng mereka untuk membebaskannya dari jerat hukum. Apalagi adanya Undang-undang Perlindungan Anak yang justru menurut mereka menjadi semacam “angin segar” untuk para pelaku klitih.

“Kenapa mereka tidak kapok? karena ditangkap 1-2 hari ditahan lalu mereka keluar. Besok kalau ditangkap lagi, ya keluar lagi,” kata TF yang mengaku pernah menjadi leader geng salah satu sekolah.

Insafnya Tiga Mantan Pelaku Klitih

Namun pada akhirnya, penyesalan mereka justru datang dari pengalaman pribadi masing-masing. ST misalnya, tersadar setelah mengalami luka parah hingga merasa sudah di ujung ajalnya. Ia juga merasa sangat bersalah ketika melakukan aksinya secara tidak sengaja mengenai seorang ibu, dan beberapa hari kemudian korban tak terselamatkan.

Sementara MT, selain dihantui perasaan bersalah, ia juga merasa malu kepada keluarga, terlebih setelah menikah. “Saya ingin hidup normal lagi. Sekarang kayak gitu tidak ada gunanya lagi,” sesalnya.

Sebagai penebus penyesalan lainnya, mereka kini juga membina anak-anak, termasuk anak jalanan di sekitar mereka, dengan memberikan nasehat dan motivasi, agar tidak terjerumus dalam lingkaran setan tersebut.

Sebagai orang tua yang paham betul tentang apa yang menjadi penyebab masa lalu mereka, baik ST, MT, maupun TF, kini juga berupaya membentengi putra-putri mereka sejak dini, dengan bekal ilmu agama dan kontrol yang proporsional.

“Dulu saya begitu karena merasa kurang perhatian, sehingga sekarang saya lebih memberikan perhatian pada anak-anak saya, dan mengenalkan mereka pada agama, sejak dini,” ucap ST. (Rep-03)

Pos terkait