Ketua PSH UII Yogyakarta, Anang Zubaidy (dok. fb anang Zubaidy)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Undang-Undang No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) telah berusia delapan tahun sejak disahkan pada 31 Agustus 2012 silam.
Pada dasarnya, tujuan dari keistimewaan ini diatur dalam Pasal 5 UUK DIY. Salah satunya, untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketentraman masyarakat. Termasuk, hingga ke level desa dan padukuhan.
Ketua Pusat Studi Hukum (PSH) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Anang Zubaidy berpendapat bahwa sebenarnya sudah banyak yang dilakukan Pemda DIY dalam mengimplementasikan UUK DIY, melalui pembentukan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) yang menjadi amanat keistimewaan.
Oleh karena itu, menurut Anang, dari sisi regulasi, pelaksanaan keistimewaan DIY sudah relatif siap. “Jika membaca “sukses” tidaknya sebuah implementasi UU, ada baiknya kita lihat seberapa progress yang sudah diraih untuk mewujudkan tujuan pembentukan UUK,” kata Anang kepada kabarkota.com, Senin (31/8).
Hanya saja, lanjut Anang, harus diakui masih ada beberapa kebijakan pemerintah DIY yang saat ini menjadi polemik di masyarakat, seperti mengenai status kepemilikan tanah bagi warga non-pribumi, pemanfaatan lahan untuk pembangunan YIA, dan penggunaan dana keistimewaan yang dinilai kurang tepat.
“Problem yang saat ini masih sulit dipecahkan dalam rangka mewujudkan tujuan keistimewaan DIY yakni bagaimana progress kebijakan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Angka kemiskinan di DIY masih cukup tinggi, yakni sekitar 11,7 persen.” sambungnya.
Anang menduga, salah satu akar masalah masih tingginya angka kemiskinan itu karena penggunaan Danais yang belum sampai pada lapisan tingkat bawah, yang dalam hal ini desa/kelurahan, dan padukuhan.
“Secara spesifik, Desa memang tidak disebut oleh UUK. Sementara di sisi lain, ada UU Desa yang menjadi payung hukum implementasi “otonomi” di desa,” ucap Pengamat Hukum Tata Negara UII ini.
Kedua aturan tersebut, kata Anang, tak bisa dianggap sebagai satu peraturan perundang-undangan yang khusus (lex specialis) sementara yang satunya umum (lex generalis). Keduanya harus “dikomunikasikan” dengan arif. Salah satunya dengan menurunkan UUK ke dalam Perdais yang mampu menjangkau sampai tingkat desa.
“Hal ini selaras dengan upaya mewujudkan tujuan UUK, yakni mensejahterakan masyarakat yang tentu saja sampai ke desa,” tegasnya.
Mengingat, ungkapnya, UUK itu tak secara langsung untuk rakyat. Bahkan jika dibaca secara utuh, ada missing link antara tujuan keistimewaan, asas-asas yang digunakan dalam UUK dengan kewenangan keistimewaan.
“Saya kira problem dasarnya ada di UUK-nya sendiri yang tidak secara langsung “menyentuh” kepentingan masyarakat atau desa,” anggapnya.
Rakyat akan mendapatkan ekses dari keistimewaan, sebut Anang, jika pemegang kebijakan mengorientasikan kebijakannya ke arah pemberdayaan masyarakat atau desa,” paparnya.
Hal itu juga selaras dengan bunyi Pasal 7 ayat (3) UUK yang mendasarkan penyelenggaraan kewenangan dalam urusan Keistimewaan itu pada nilai-nilai kearifan lokal, dan keberpihakan kepada rakyat. (Rep-02)