Pengingkaran Pemerintah terhadap Pemberantasan Korupsi

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan bentuk kemunduran dan pengingkaran komitmen pemerintah terhadap langkah pemberantasan korupsi.

Anggapan ini disampaikan Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chatarina Muliana Girsang, dalam diskusi publik “Selamatkan KPK, Kontroversi Pembahasan RUU KUHP & KUHAP” di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu (1/3).

Bacaan Lainnya

“Kalau disusun 30 tahun lalu, benar tidak melemahkan,karena KPK belum lahir. Tapi kalau diserahkan sekarang?” tandas Chatarina dalam kalimat Tanya.

Keberatan KPK terhadap pembahasan RUU tersebut, kata Chatarina, karena memasukkan delik luar biasa yang pada akhirnya menghilangkan delik luar biasa itu sendiri. Salah satunya terkait dengan delik korupsi.

Meskipun KPK memiliki undang-undang Lex specialis, namun hanya berlaku untuk delik-delik yang tidak masuk dalam KUHAP. “Padahal 80 persen KPK mengacu pasal-pasal dalam KUHAP,” kata Chatarina.

Selain itu, tambahnya, KPK menilai ketentuan dalam RUU KUHP dan KUHAP tumpang tindih sehingga sangat membingungkan. Contoh, pasal 71 huruf “d” RUU KUHP dan pasal 42 ayat 3 RUU KUHAP bertentangan dengan pasal 702 RUU KUHP.

Satu sisi menyertakan pengembalian kerugian sebagai syarat tidak dipidananya atau tidak dituntutnya seorang pelaku. Sisi lain adanya unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagai syarat pemberatan ancama pidana penjara terhadap beberapa delik jabatan dan delik korupsi.

”Hal ini menunjukkan tumpang tindih atau pertentangan pasal-pasal dalam kedua RUU tersebut,”
paparnya.

Sedangkan menurut Haris Azhar, Koordinator KONTRAS, pembahasan kedua RUU itu tidak hanya mengabaikan standar sosiologis, juga tidak mengikuti perkembangan zaman di dunia hukum.

”Ketika draft ini tidak merepresentasikan kepentingan-kepentingan kita ya pasti melawan,” tegas Haris. (tya)

SUTRIYATI

Pos terkait