Ilustrasi (kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Terbitnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja (permenaker) No. 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan bagi Pekerja/Buruh Perusahaan dirasa membebani bagi pelaku usaha, khususnya di Yogyakarta.
Salah satu pengusaha kerajinan batik kayu di Yogyakarta, Indah Rahayu Murnihati menganggap, satu sampai tiga bulan bagi buruh atau pekerja umumnya masih dalam masa percobaan (training) untuk mengukur layak tidaknya yang bersangkutan diangkat menjadi karyawan tetap atau perpanjangan kontrak kerja.
“Bagi saya, istilah THR bagi pekerja satu bulan itu tidak tepat, kami biasanya tetap memberi mereka bingkisan-bingkisan yang lebih tepatnya disebut tali kasih,” kata Wakil Ketua Dekranasda DIY ini saat dihubungi kabarkota.com, Rabu (6/4/2016).
Permenaker yang baru tersebut merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menyebutkan bahwa buruh/pekerja satu bulan berhak mendapatkan THR dengan besaran yang proporsional. Kebijakan ini berbeda dengan Permenaker No. 4 Tahun 1994 yang hanya memberikan hak kepada pekerja minimal tiga bulan untuk bisa mendapatkan tunjangan keagamaan.
Menurut Permenaker yang diteken per 8 Maret 2016 itu, THR berlaku bagi pekerja yang memiliki hubungan kerja, baik dengan Perjanjian Kerja dalam Waktu tak Tenty maupun Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Ditambahkan Indah yang juga salah satu pengurus di Kadin DIY bahwa pada dasarnya ia tak keberatan dengan pemberian tunjungan itu, selama istilah yang digunakan bukan THR dan besarannya tidak ditentukan pemerintah.
Indah yang memiliki belasan karyawan tetap dan puluhan tenaga freelance ini mengaku, selama ini pihaknya juga telah memberikan hak THR bagi pekerja yang sudah mencapai minimal 6 bulan, dan tali kasih untuk pekerja lepas. (Rep-03/Ed-03)