Peringati hari HAM, Jurnalis Tagih Janji Negara

Diskusi bertema “HAM, Kemerdekaan Pers, Perlindungan dan Keselamatan Jurnalis di Indonesia”, di Jakarta, 10 Desember 2019. (dok. istimewa)

JAKARTA (kabarkota.com) – Komite Keselamatan Jurnalis berpendapat bahwa jurnalis merupakan pilar utama kemerdekaan pers sehingga dalam menjalankan tugas harus mendapatkan perlindungan hukum dari negara, serta mendapat jaminan keselamatan dari perusahaan media.

Bacaan Lainnya

Hal tersebut sebagaimana disampaikan Puri Kencana Putri dari Amnesty Internasional Indonesia, mewakili Komite Keselamatan Jurnalis, dalam Diskusi bertema “HAM, Kemerdekaan Pers, Perlindungan dan Keselamatan Jurnalis di Indonesia”, di Jakarta, 10 Desember 2019.

Diskusi dalam rangka memperingati Hari HAM Internasional ini terselenggara atas kolaborasi antara MediaLink, LPDS, Sejuk, Tempo Institute, AJI Indonesia dengan dukungan Kedutaan Besar Belanda, Kedutaan Besar Inggris, dan International Media Support (IMS).

“Pekerja media dan jurnalis harus mendapat kepastian perlindungan, supaya dapat menghapus impunitas serta membangun iklim dan kultur yang sehat untuk demokrasi,” kata Puri.

Menurutnya, hingga kini masih banyaknya kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Pihaknya mencontohkan, kekerasan terhadap jurnalos yang terjadi saat aksi demonstrasi di depan kantor Bawaslu RI pada Mei 2019, serta saat aksi demonstrasi menolak revisi UU yang kontroversi di depan gedung DPR RI.

Selain itu, Puri menyebut, pelaporan atas karya jurnalistik jurnalis ke aparat hukum juga menjadi contoh nyata, terjadinya pembungkaman kepada jurnalis.

Pada kesempatan ini, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan menganggap, hak asasi merupakan tema penting dan sudah sepatutnya mendapatkan perhatian jurnalis dan media.

“Salah satu upaya yang kami lakukan untuk meningkatkan kepedulian jurnalis terhadap tema ini adalah dengan memberikan pendidikan dan pelatihan kepada jurnalis, serta apresiasi untuk jurnalis yang membuat karya terbaik tema HAM,” ungkapnya.

Pihaknya juga berpandangan bahwa untuk mendukung kemerdekaan pers, bisa dilakukan dengan terus menerus menagih komitmen pemerintah untuk memproses hukum pelaku kekerasan terhadap jurnalis.

“Pembiaran suatu kasus kekerasan terhadap jurnalis bisa menjadi preseden buruk di masa-masa mendatang,” tegas Manan. Mengingat, pers Indonesia masih berada di bawah ancaman berupa impunitas bagi para pembunuh dan pelaku kekerasan terhadap jurnalis di masa lalu.

“Tak adanya proses hukum terhadap mereka bisa mengancam peran jurnalis dalam menjalankan fungsinya. Karena itu, negara harus dapat bekerja sama supaya jurnalis dan media bisa mendapat perlindungan dan menghilangkan impunitas,” pintanya.

Sementara Duta Besar (Dubes) Kerajaan Belanda, Lambert Grijn memaparkan, kebebasan pers adalah satu elemen penting dalam negara demokrasi. Media merefleksikan kesamaan dan perbedaan yang ada di dalam masyarakat. Peran media seperti layaknya sebuah cermin masyarakat menjadikan jurnalisme bagian penting dalam good governance – pemerintahan yang baik. Dengan adanya debat dan diskusi, maka demokrasi bertumbuh.

“Ketika ada perbedaan pendapat, ada kebenaran yang dapat kita temukan,” ucapnya.

Untuk itu, media dan jurnalis harus memegang peran kunci. Terlebih, ada ratusan hingga ribuan media di Indonesia menjadi cerminan atas kebebasan pers di negara ini. Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 juga memberikan wadah perlindungan bagi jurnalis dan awak media dan melindungi hak-hak jurnalis.

Dubes Kerajaan Inggris Owen Jenkins menyatakan, perlu ada komitmen nyata untuk memberikan perlindungan bagi jurnalis di Indonesia. Sebab, Freedom House menilai bahwa pers Indonesia tak sepenuhnya bebas karena adanya laporan-laporan tentang kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis serta konsentrasi kepemilikan media.

“AJI mencatat ada sekitar 40-60 kasus kekerasan terhadap jurnalis setiap tahunnya. Karena itu, Saya ingin ada rencana aksi nasional untuk keselamatan jurnalis di Indonesia,” kata Owen Jenkins.

Adapun Ranga Kalansooriya dari IMS juga menegaskan perlunya satu rencana aksi untuk keselamatan jurnalis di Indonesia. Upaya ini membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak, baik dari lembaga pemerintah, non pemerintah, akademisi, organisasi pers serta organisasi masyarakat sipil.

“Saya berharap kita bisa bersama menyusun rencana aksi ini, sehingga jika ada serangan terhadap jurnalis, telah ada panduan langkah untuk menanganinya,” kata Ranga.

Dari perwakilan pemerintah, Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny Plate menyinggung tentang infrastruktur digital untuk mempermudah penyebaran informasi.

Johnny menegaskan, pemerintah tengah menyiapkan infrastuktur membangun 3.300 km fiber optic untuk sarana telekomunikasi di Indonesia sebagai upaya untuk mempermudah penyebaran informasi.

“Mari gunakan infrastruktur secara cerdas dan memastikan Indonesia mempunyai kedaulatan data dan ada perlindungan pada pengguna data.Kita berharap mempunyai satu data terintegrasi untuk database Indonesia,” imbaunya.

Selain diskusi, AJI Indonesia bekerjasama degan Kedutaan Belanda memberikan apresiasi karya liputan terbaik isu HAM. Penghargaan terbaik pertama, diberikan kepada jurnalis BBC Indonesia, Callistalisa Wijaya dan Dwiki Marta untuk reportase berjudul “Dituding PKI, ‘ditelanjangi untuk cari cap Gerwani’: Kisah penyintas Tragedi 65”. Penghargaan terbaik kedua diraih Irwan Syambudi dari Tirto.id, lewat karya jurnalistik “Upacara Doa di Bantul Dihentikan, Utiek Suprapti: ‘Saya Hindu’. Penghargaan terbaik ketiga diraih oleh Abdul Jalil dari Solopos.com dengan karya jurnalistik berjudul “Kisah Anak Terpidana Mati: Menjaga Harapan Hidup Sang Ibu (Bagian 1-5)”.

Direktur MediaLInk, Ahmad Faisol mengatakan, meski ada kasus pelanggaran HAM yang belum terungkap, pihaknya mengaku senang karena cukup banyak liputan media soal isu HAM.

“Laporan tersebut belum cukup menggerakkan publik untuk melaporkan kasus pelanggaran yang terjadi ke aparat hukum. Ini pekerjaan rumah bagi kita semua, ” kata Ahmad. (Ed-02)

Pos terkait