Ilustrasi (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) yang mengabulkan permohonan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dan menghukum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 selama lebih dua tahun empat bulan atau mengulang tahapan dari awal karena dinyatakan melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) disesalkan oleh banyak pihak, khususnya di Yogyakarta.
Salah satu Bakal Calon Anggota Legislatif (Bacaleg) asal DIY, Dani Eko Wiyono mengaku tidak setuju dengan keputusan tersebut.
“Penundaan Pemilu 2024 sebagai hal yang menciderai demokrasi,” kata Dani kepada kabarkota.com, Jumat (3/3/2023).
Di samping itu, Dani juga menduga, adanya intrik politik dari pihak tertentu untuk memperpanjang kekuasaan, dengan penundaan Pemilu yang gugatannya diajukan oleh orang lain.
Untuk itu, ia meminta agar Pemilu tetap dilaksanakan pada 9 Februari 2024 mendatang, sesuai dengan rencana awal dan tahapannya telah berjalan.
Gugatan Salah Jalur
Sementara Koordinator Umum Komite Independen Sadar Pemilu (KISP), Moch Edward Trias Pahlevi menganggap, putusan PN Jakpus tersebut janggal sehingga tidak bisa dieksekusi. Jika merujuk pada UU Pemilu UU No 7 Tahun 2017 penyelesaian pendaftaran dan verfikasi parpol dilakukan melalui bawaslu dan PTUN. Oleh karena itu, pihak yang berwenang mengadili sesugguhnya adalah Mahkamah Konstitusi (MK), bukan PN.
“Saya menilai hakim yang memutus ini keliru dalam memaknai gugatan dari Partai Prima,” tegasnya.
Selain itu, lanjut Edward, permasalahan tersebut tidak tepat jika merembet pada semua tahapan Pemilu karena yang dipermasalahkan soal tahapan pendaftaran dan verifikasi Parpol.
“Bisa repot jika banyak putusan seperti ini. Dampak besarnya akan berujung pada ketidakstabilan demokrasi,” anggapnya.
Lebih lanjut pihaknya menambahkan, meskipun UU Pemilu mengenal adanya Pemilu susulan dan lanjutan karena adanya isiden atau peristiwa, misalnya kerusuhan, gangguan keamanan, dan bencana alam. Namun, tidak ada klausul yang berbunyi Pemilu ditunda karena Putusan PN.
Hal senada juga disampaikan Peneliti di Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Yuniar Riza Hakiki yang menjelaskan, ada dua cacat logika dan keliru dalam praktik penyelenggaraan hukum di Indonesia, khususnya dalam gugatan tersebut.
Pertama, substansi perkara ini pada hakikatnya bukan merupakan gugatan PMH bidang keperdataan, melainkan perkara gugatan sengketa kepemiluan atas keputusan tata usaha negara yang telah dikeluarkan oleh KPU. Dengan demikian, secara kompetensi absolut, PN Jakpus tidak berwenang mengadili substansi perkara yang berkaitan dengan sengketa Pemilu.
“PN Jakpus tidak berwenang memutus penundaan tahapan Pemilu,” ucapnya.
Sebab, kata dia, tahapan Pemilu tidak hanya menyangkut kepentingan hukum para pihak yang berperkara dalam sengketa keperdataan sehingga meskipun putusan PN Jakpus pada aspek tertentu dinilai memulihkan kerugian Partai Prima, tetapi dengan menghukum KPU untuk menunda tahapan Pemilu justru merugikan kepentingan hukum yang lebih luas. Pihaknya mencontohkan, merugikan bagi Partai Politik yang sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024. Termasuk bagi rakyat selaku pemilih yang akan kehilangan hak pilih pada Pemilu yang seharusnya diselenggarakan setiap 5 tahun.
Lebih lanjut Yuniar menerangkan, UU Pemilu hanya mengatur tentang penundaan pemungutan suara dan itu hanya bisa diberlakukan oleh KPU di daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia.
Pelaksanaan Pemilu setiap lima tahun, lanjut Yuniar, harus tetap dilaksanakan sejalan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945, yakni Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
“Kami memandang Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung perlu memeriksa majelis hakim PN Jakpus yang mengadili perkara tersebut,” sambungnya.
Jika terbukti melanggar kode etik dan hukum, maka hakim yang bersangkutan harus diberikan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tahapan Pemilu tetap Berjalan
Di lain pihak, Ketua KPU DIY, Hamdan Kurniawan menyatakan bahwa pihaknya tetap menjalankan tahapan Pemilu 2024. Salah satunya, Rapat Pleno Rekapitulasi Verifikasi Persyaratan Dukungan Minimal Pemilih Tahap Kesatu Bakal Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DIY pada Pemilu Tahun 2024 yang dilaksanakan pada 1 Maret 2023.
Dari hasil Rapat Pleno tersebut, ada tujuh nama bakal calon anggota DPD yang status jumlah dukungan di tingkat provinsi dinyatakan memenuhi syarat. Tujuh orang yang dimaksud, yakni: A. Khudhori; Hilmy Muhammad; Tugiman; Trisno Suhardi; Ahmad Syauqi Soeratno; dan R.A. Yashinta Sekarwangi Mega. Sedangkan Cinde Laras Yulianto dan Sindu Kurniawan dinyatakan belum memenuhi syarat.
Menurut Hamdan, para bakal calon yang belum memenuhi jumlah dukungan minimal Pemilih masih bisa memperbaiki persyaratan dukungan pada saat penyerahan dukungan minimal pemilih perbaikan kedua, pada 2 – 11 Maret 2023. (Rep-01)