Perjuangan Pekerja Informal di DIY Hampir Menuai Hasil

Ilustrasi: Jaringan Advokasi Melindungi Pekerja Informal menggelar sejumlah kegiatan di halaman kantor DPRD DIY, Senin (10/12/2018). (Dok. yasanti)

YOGYAKARTA (kabarkora.com) – Perjuangan para pekerja informal termasuk buruh gendong di DIY untuk mendapatkan hak yang sama sebagai tenaga kerja, agaknya hampir menuai hasil.

Bacaan Lainnya

Koordinator Jaringan Advokasi Melindungi Pekerja Informal, Hikmah Diniah mengatakan, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY, melalui DPRD DIY telah berinisiasi menyusun Peraturan Daerah (Perda) tentang Ketenagakerjaan. Sedangkan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY, Biro Hukum, dan Biro Kesra Pemda DIY juga memastikan penyusunan Pergaturan Gunernur (Pergub) tentang Perlindungan Pekerja Rumahan yang ditargetkan selesai pada 2020 mendatang.

Selain itu, lanjut Hikmah, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan juga menyiapkan program-program kepesertaan pekerja informal. “Kepala desa dan lurah akan melibatkan pekerja informal di Musrembangdus dan Musrembangdes, serta akan memasukan program untuk pekerja informal, terutama pekerja rumahan,” jelas Hikmah saat dihubungi kabarkota.com, Senin (10/12/2018).

Menurut Hikmah, kerja rumahan dikenal juga sebagai putting out system, di mana pekerja melaksanakan pekerjaan yang serupa dengan pekerja pabrik, tetapi di rumah mereka. Pekerja rumahan pada umumnya banyak terlibat dalam proses produksi di industri padat karya di 6 (enam) sektor industri diantara seperti makanan, pakaian atau konveksi, elektronik, sepatu, furniture, dan kerajinan tangan.

Meskipun belum teridentifikasi secara pasti jumlah pekerja rumahan secara nasional. Namun berdasarkan data dari mitra MAMPU terdapat sekitar 5 ribu pekerja rumahan yang sudah terorganisir, di 7 Provinsi dan 24 kabupaten/kota yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera.

Data Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) di tahun 2016 mencatat, di DIY ada 1.186 Pekerja rumahan. Dari jumlah tersebut, 294 diantaranya sudah terorganisir, dan tersebar di 10 desa dan kelurahan se-Kabupaten Bantul dan Kota Yoyakarta.

Sementara berdasarkan data SPRT Tunas Mulia, di DIY ada 766 Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang tanpa perlindungan. Hal tersebut menyebabkan mereka rentan mengalami berbagai tindak kekerasan. Baik kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual, sosial, maupum jaminan sosial.

Pihaknya menyebutkan, di tahun 2011-2012 saja, ada sekitar 273 kasus, yang terbagi atas Kekerasan fisik 177 orang (65%), berupa pemukulan, dibenturkan, disiram dengan air cucian, hingga dikenai benda panas. Kekerasan ekonomi juga dialami oleh191 orang (85%), berupa upah yang tak dibayar, pembayaran tidak tepat waktu atau ditunda hingga 2-3 bulan.

“Jumlah kasus yang dialami PRT semakin menigkat dari tahun ketahun. Upah PRT relatif sangat kecil, rata-rata Rp.300 ribu – Rp 500 ribu per bulan. Jam kerja tidak jelas, beban kerja melebihi kemampuan PRT, tidak ada istirahat karena beban kerja terlalu banyak, tidak punya hari libur mingguan, tidak mendapat jaminan sosial, seperti jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan,” sesal Hikmah.

Hal yang hampir sama juga terjadi pada para buruh gendong atau endong ending, yang selama ini belum mendapafkan pengakuan sebagai pekerja yang layak mendapatkan perlindungan.

Hikmah yang juga aktif di Yasanti dan mendampingi sekitar 500 buruh gendong di sejumlah pasar tradisional, khususnya di Kota Yogyakarta.

Berbagai persoalan yang dihadapi juga menyangkut penghasilan yang minim tiap hari nya, upah tidak pasti dan rendah. Kondisi tersebut kian memprihatinkan karena Slstruktur pasar tak ramah dengan pekerjaan buruh gendong, seperti lokasi jalan yang sempit dan semrawut, atap pasar bocor sehingga lantai kadang licin dan membahayakan ketika menggendong, naik turun dengan tangga yang terkadang curam, sehingga rentan terhadap keselamatan, kesehatan kerja buruh gendong, sementara biaya pengobatan harus ditanggung oleh buruh gendong.

“Situasi ini tentu tidak sejalan dengan komitmen Presiden Jokowi terhadap pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), yang memiliki prinsip no one left behind. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya untuk mendorong BPS agar mulai melakukan pendataan terhadap jenis pekerjaan dengan karakteristik kerja rumahan di dalam survey yang dilakukan,” anggapnya.

Hal ini penting, kata Hikmah, agar Pemerintah dan publik dapat mengetahui proporsi pekerja rumahan dalam angkatan kerja aktif, jumlah, penyebaran wilayah, jenis pekerjaan, dan status pekerjaan mereka.Data yang tersedia akan menunjukkan kepada public bahwa Negara hadir untuk warga nya dengan jenis pekerjaan apapun. Sekaligus, bermanfaat bagi Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan yang inklusif, berprespektif gender, dan berkeadilan.

Karenanya, Jaringan Advokasi Melindungi Pekerja Informal memandang perlu adanya partisipasi pemerintah daerah tingkat desa/kelurahan dan kota/kabupaten, serta propinsi untuk mulai mentargetkan pekerja rumahan sebagai penerima manfaat dalam berbagai program pembangunan yang sudah tertuang dalam RPJMD di tingkat desa/kel sampai propinsi.

Berbagai program yang telah dirancang, seperti pelatihan ketrampilan kerja, pengembangan usaha (entrepeneurship), serta berbagai program perlindungan sosial, diantaranya jaminan kesehatan, ketenagakerjaan, program keluarga harapan, dan lainnya penting untuk dapat diakses secara terbuka oleh pekerja rumahan, yang rata-rata masuk dalam kategori masyarakat miskin. (Ed-03)

Pos terkait