Pertemuan Jokowi – Prabowo dari Kacamata Pengamat Politik

Jokowi (kanan) dan Prabowo (kiri) saat melakukan pertemuan di MRT Jakarta, Sabtu (12/7/2019) (dok. sc tvone)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pertemuan antara Calon Presiden (Capre) no urut 01, Joko Widodo (Jokowi) dengan Capres no urut 02, Prabowo Subianto pasca Pilpres 2019 menjadi saat yang paling dinanti-nantikan publik.

Bacaan Lainnya

Akhirnya, pada Sabtu (13/7/2019) pagi di dalam Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta, kedua tokoh tersebut bertemu dalam suasana yang hangat dan bersahabat. Bahkan, mereka juga sempat makan siang bersama dalam satu meja.

Dalam konferensi pers yang disiarkan oleh berbagai media massa nasional, pada intinya keduanya menyampaikan bahwa pasca kontestasi dalam Pilpres 2019 usai, maka seluruh masyarakat harus bersatu kembali

“Tidak ada lagi yang namanya Cebong, tidak ada lagi yang namanya Kampret, yang ada adalah… Garuda Pancasila,” ucap Jokowi.

Sementara Prabowo jufa menyampaikan, “menjadi presiden itu adalah mengabdi. Jadi masalah yang beliau (Jokowi) pikul besar. Kami siap membantu kalau diperlukan… untuk kepentingan rakyat.”

Namun demikian, Prabowo juga menegaskan, jika dalam berdemokrasi dibutuhkan check and balance.

Memaknai Pertemuan Jokowi – Prabowo di MRT

Peneliti Hicon Law and Policy Strategic, Puguh Windrawan menilai, pertemuan keduanya menarik karena menjadi simbol bahwa persaingan politik telah usai.

“Elite politik bertemu semoga massa arus bawahnya juga berlaku hal yang sama,” kata Puguh saat dihubungi kabarkota.com, Sabtu (13/7/2019).

Dengan dipilihnya MRT sebagai tempat pertemuan, Puguh berpendapat bahwa Jokowi tengah memainkan peran. Sekaligus secara tak langsung menjadi bagian dari promosi tentang MRT itu sendiri.

“Makan siang sendiri merupakan simbol kekeluargaan dan keakraban,” ucapnya.

Terkait dengan adanya kemungkinan sinyal koalisi pasca pertemuan tersebut, menurutnya, akan lebih baik jika Gerindra tetap sebagai koalisi bagi pemerintahan Jokowi ke depan. Sebab bagaimanapun Negara demokrasi yang baik juga memerlukan oposisi supaya jalannya pemerintahan stabil.

“Elite politik Gerindra bisa jadi akan menerima (koalisi dengan pemerintah). Hanya saja, dalam koalisi prabowo sandi kan bermacam-macam latar belakang. Di luar elite gerindra yang mungkin tidak mendukung koalisi,” imbuhnya.

Hal senada juga disampaikan pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Muhammad Sodik yang beranggapan bahwa pertemuan kedua capres tersebut merupakan momentum bersejarah di tengah keterbelahan sebagian anak bangsa.

“Masing masing pendukung perlu menyontoh persahabatan dari dua tokoh tersebut,” harap Sodik. MRT juga merupakan jalan populis yang rileks dan dekat dengan suasan batin masyarakat.

Terkait dengan pilihan koalisi atau oposisi di kubu Prabowo, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini berpendapat bahwa membantu tidak harus masuk dalam sistem pemerintahan, tetapi dapat dalam bentuk oposisi yang kritis-konstruktif.

“Koalisi mungkin di tingkat daerah,” ucapnya. (Rep-02)

Pos terkait