Seminar Nasional Akhir Tahun: Prospek dan Tantangan Pilkada 2020, di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Sabtu (21/12/2019). (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Serentak akan kembali digelar pada 2020 mendatang. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mencatat, ada 224 kabupaten dan 37 kota di Indonesia yang akan memilih calon Bupati dan Walikota baru. Termasuk tiga kabupaten di DIY, yakni, Sleman, Bantul, dan Gunung Kidul.
Selain penyelenggaraan Pilkada yang diharapkan berlangsung damai, bebas, jujur, dan adil, calon-calon pimpinan daerah yang terpilih juga dihadapkan berkualitas.
Pengamat Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Abdul Gaffar Karim berpendapat bahwa para kandidat yang terpilih untuk maju dalam Pilkada mendatang adalah calon-calon yang memang original.
“Non-oligarkhis dan non-dinastic,” tegasnya, dalam Seminar Nasional Akhir Tahun: Prospek dan Tantangan Pilkada 2020, di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sabtu (21/12/2019).
Guru Besar Fakultas Hukum UII, Nikmatul Huda juga sependapat bahwa calon-calon kepala daerah yang berkualitas itu setidaknya memiliki pengalaman atau latar belakang keilmuan di bidang pemerintahan.
“Harus yang original, artinya dia punya kepekaan dan kompetensi untuk membangun daerah. Sekaligus masyarakat bisa melihat bahwa dia memang patut untuk menjadi pemimpin,” jelas Nikma.
Pihaknya menganggap, pemimpin yang berkualitas itu tidak mengambil jarak dengan rakyat, serta berfikir untuk kebaikan masyarakatnya.
Direktur Pusat Studi Hukum (PSH) UII, Anang Zubaidy menambahkan, keterlibatan publik dalam proses penjaringan bakal calon, semestinya juga dibuka lebar ruangnya oleh Partai Politik (Parpol), mulai dari tahap pencalonan.
“Kalau pun tidak bisa terlibat dalam proses penentuan bakal calon, tetapi setidaknya publik dilibatkan dalam proses mengkritisi kebijakan internal Parpol,” pintanya
Menurut Anang, hal itu penting untuk menentukan calon-calon yang memang layak dipilih, bukan karena pertimbangan oligarki, materiil, maupun pragmatis.
“Jangan sampai mereka memilih karena alasan keluarganya siapa atau karena pertimbangan punya modal besar atau alasan pragmatis lainnya. Itu yang menjadi tantangan,” ucapnya.
Sedangkan terkait dinasti politik, Anang menyatakan, meskipun peluang terpilihnya relatif besar, namun semestinya Parpol memberikan kesempatan pada kader-kader yang memang telah merintis karir politik dari bawah. Mengingat, mereka juga telah memiliki modal sosial yang besar.
“Kansnya besar tapi tidak baik untuk pendidikan politik dan kaderisasi,” anggapnya. Sebab, pada hakikatnya, demokrasi memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk duduk di pemerintahan. (Rep-01)