Ilustrasi (rri.co.id)
SLEMAN (kabarkota.com) – Momen Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) menjadi tantangan bagi para pelaku media. Di satu sisi sangat menarik untuk diberitakan, namun di sisi lain, media juga diharuskan memberitakan dari beberapa pihak secara berimbang.
Pesta demokrasi di tingkat daerah yang terjadi saat ini juga penuh godaan menggiurkan, baik yang ditawarkan melalui perusahaan media maupun kepada para ownernya.
“Itu tergantung atau berpulang pada jurnalisnya atau media itu. Apakah mau melacurkan diri atau tetap menjaga indepedensi, setia pada pelayanan publik,” kata Pengamat media dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Lukas S. Ispandriarno, saat ditemui kabarkota.com, Rabu (9/11/2016).
Menurutnya, untuk tingkat lokal, menjadi terlalu pelik karena jarak antara jurnalis dengan pejabat terlalu dekat sehigga menyulitkan dalam menjaga independesi sebab cenderung akan memunculkan perasaan sungkan menolak dan permisif sehingga itu justru bisa merugikan media yang bersangkutan. Bahkan, tak jarang media mendapatkan somasi dari narasumber maupun masyarakat terkait dengan pemberitaannya.
Hal itu sebagaimana yang terjadi di Yogyakarta, baru-baru ini. Berdasarkan informasi yang diterima kabarkota.com dari instant messenger, Selasa (8/11/2016), salah satu media massa lokal di Yogya mendapatkan somasi dari seorang narasumber karena pemberitaan yang diturunkan dianggap tak sesuai dengan fakta yang disampaikan narasumber, serta cenderung memihak pada salah satu pasangan calon yang maju dalam Pemilihan Walikota Yogyakarta 2017. Selain itu, narasumber juga menyebut bahwa jurnalis dari media ini tidak berada di lapangan, serta tidak melakukan konfirmasi terhadap dirinya, sebelum berita dimuat.
Dalam somasi yang ditembuskan ke Ombudsman media yang bersangkutan, dewan pers, KPU Kota, Panwaslu Kota, Polda dan Kejati DIY itu, narasumber menuntut adanya permohonan maaf dari pihak media serta pemuatan hak jawab di media tersebut. Selain itu, ia juga meminta dewan pers menertibkan kode etik jurnalistik bagi wartawan, dan menginginkan agar KPU, Panwaslu, Polda, dan Kejati memberikan peringatan atas ketidaknetralan itu.
Dosen Fisip UAJY ini juga menganggap, somasi semacam itu pada akhirnya bisa memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap media yang bersangkutan.
Sementara, Ketua Divisi Sekolah Jurnalistik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Olivia Lewi Pramesti berpendapat bahwa somasi yang dilayangkan tersebut berkaitan dengan masalah profesionalitas.
“Profesionalitas sendiri berkaitan dengan dua hal, yakni masalah praktik dan etika,” jelasnya.
Soal praktik, lanjut Olivia, jurnalis yang bersangkutan tidak melakukan kerja jurnalistik, sebab ia tidak berada di lapangan dan menuliskan fakta tidak sesuai dengan lapangan.
“Bahkan ini bisa disebut dengan plagiarisme dalam jurnalistik, sebab berdasarkan somasi, jurnalis yang bersangkutan tidak berada di lapangan serta tidak melakukan konfirmasi kepada narasumber sebelum pemberitaan dimuat. Bisa jadi ia hanya melihat atau copy paste tulisan orang lain” anggap Olivia yang juga Dosen Fisip UAJY ini.
Menurutnya, ada lima faktor yang dapat mempengaruhi isi media di sebuah media massa. Kelimanya adalah faktor individu, rutinitas media, organisasi, ekstra media, dan ideologi.
Individu, kata Olivia, berkaitan dengan jurnalis dan editornya dalam melakukan kerja media. Sedangkan rutinitas media berhubungan dengan kebijakan redaksi, organisasi menyangkut orang-orang di dalam media, dan ekstramedia itu kepentingan-kepentingan di luar media, seperti pengiklan, supplier, dan pihak luar media lainnya.
“Ideologi itu faktor yang paling tinggi dalam lingkaran media,” ujarnya. (Rep-03/Ed-03)