Ilustrasi: suasana di Teras Malioboro 2 saat weekend, pada 18 Juni 2022 (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Relokasi Pedagang Kali Lima (PKL) Maliboro telah selesai sejak empat bulan lalu. Para PKL yang sebelumnya berjualan di lorong-lorong pertokoan sepanjang Jalan Malioboro, kini menempati Teras Malioboro (TM) 1 dan 2 yang disediakan oleh pemerintah.
Dari sisi estetika, sekarang kawasan Malioboro memang terlihat lebih rapi dan nyaman bagi pengunjung, karena tidak ada lagi PKL yang berjualan di lorong-lorong pertokoan.
Hal itu diakui juga oleh salah satu wisatawan dari Riau, Diah yang datang ke Malioboro.
“Sekarang Malioboro sudah semakin ramai dan nyaman,” kata Diah kepada kabarkota.com, 18 Juni 2022.
Namun, bagi PKL, relokasi masih menyisakan persoalan besar, karena selain omzet penjualan mereka yang belum stabil pasca dipindahkan ke lokasi baru, dan sebelumnya dihantam pandemi Covid-19, sementara sebagian dari mereka masih terjerat hutang dari lembaga keuangan, dengan sistem rentenir.
Salah satu PKL di TM 2, Supriyati mengungkapkan, pada tahun 2017, dirinya mendapatkan pinjaman dari salah satu lembaga keuangan sebesar Rp 150 juta, namun yang ia terima waktu itu hanya sekitar Rp 130 juta, dengan dalih untuk potongan biaya administrasi dan notaris.
Dari pinjamannya tersebut, dia harus mengangsur Rp 4.3 juta per bulan. Namun karena pandemi Covid-19 dan relokasi PKL Malioboro, cicilan yang sebelumnya lancar pun mulai tersendat hingga dia mendapatkan Surat Peringatan dari pihak pemberi pinjaman bahwa hutang dan bunga yang harus dia bayar membengkak dari Rp 89.5 juta (2021) menjadi Rp 110 juta di tahun 2022 ini.
“Itu sangat mencekik, karena dari Rp 80-an juta menjadi Rp 110 juta,” katanya. Padahal, selama ini pihaknya telah membayar cicilan lebih dari 30 kali dengan nilai Rp 4.3 juta per bulan.
“Saya bingung, bagaimana untuk membayarnya,” sambungnya.
Mengingat, kata dia, saat ini omzet penjualan tidak sebanyak dulu ketika di lorong toko dan sebelum pandemi Covid-19. Sementara, dia juga harus menghidupi tujuh anggota keluarganya.
Persoalan yang hampir sama juga dialami PKL TM 2 lainnya, Budiyanti yang mengaku bahwa pada tahun 2020, sebelum Pemberlakuan Pembatasan Aktivitas Masyarakat (PPKM), ibu dua anak ini mendapatkan pinjaman Rp 9 juta dari sebuah lembaga keuangan, dengan kesepakatan bagi hasil 60:40.
Dari besaran pinjaman tersebut, Yanti harus membayar cicilan Rp 119 ribu per hari. Namun sejak pandemi Covid-19 hingga relokasi PKL ke TM 2, ia tak mampu membayar cicilan tersebut hingga pihak pemberi pinjaman memberitahukan bahwa hutang yang belum dibayar masih sekitar Rp 13 juta.
“Dulu, saya tertib membayar angsuran, karena PPKM jadi terhenti, tapi bunganya tetap berjalan. Dari pihak bank suruh memperbarui pinjaman, saya tidak mau karena niatnya ingin melunasi,” jelas Yanti.
Kondisi tersebut juga memberatkan Yanti, apalagi dia juga harus menghidupi anak-anaknya. Padahal sejak pindah ke TM 2, penghasilannya tidak menentu.
“Kadang sehari cuma dapat Rp 75 ribu,” katanya.
PKL Mendapatkan Pinjaman tanpa Bunga dari Komunitas Lain
Di tengah beratnya kondisi ekonomi tersebut, mereka kini bisa sedikit bernafas lega karena mendapatkan pinjaman modal tanpa bunga dari Koperasi Forum Komunitas Kawasan Alun-alun Utara (FKKAU) Yogyakarta. Setidaknya ada 50 PKL yang telah menerima pinjaman tersebut sejak dua bulan terakhir.
Bagi PKL, dana pinjaman tersebut sangat bermanfaat. Terlebih, selama ini dari pihak koperasi paguyuban PKL maupun pemerintah tidak banyak memberikan solusi atas permasalahan mereka, pasca relokasi.
Bagi Yanti, jumlah pinjaman senilai Rp 2 juta waktu itu, ia gunakan untuk memperbaiki lapak barunya, serta menambah barang dagangannya. Sedangkan bagi Supriyati, pinjaman tersebut, ia gunakan juga untuk berbelanja barang dagangan berupa pakaian-pakaian batik. Dengan besaran pinjaman tersebut, para PKL berkewajiban mengangsur Rp 200 ribu per bulan.
“Kalau saya pribadi, itu (angsuran) tidak berat, karena dana pinjaman digunakan untuk kulakan,” kata Supriyati.
Sementara ditemui terpisah, staf Koperasi FKKAU, Sigit Purwanto menuturkan, program pinjaman tanpa bunga itu sengaja digulirkan, dengan salah satu tujuannya untuk memberantas praktik-praktik riba yang memberatkan para pedagang.
“Kami berpikir, mereka sudah direlokasi masih terbebani dengan rentenir harian. Kasihan sekali mereka,” anggap Sigit.
Jadi dengan program pinjaman tanpa bunga ini, lanjut Sigit, maka uang yang diterima PKL sesuai dengan jumlah yang dipinjam, tanpa dikenai biaya administrasi, dan sanksi denda.
“Misalnya mereka pinjam Rp 2 juta, maka kembalinya juga Rp 2 juta,” sebutnya.
Lebih lanjut Sigit menyadari bahwa dana yang dimiliki koperasi masih terbatas untuk menggulirkan pinjaman lebih banyak lagi. Untuk itu pihaknya berharap pemerintah maupun pihak-pihak terkait bisa ikut “turun tangan” membantu para PKL keluar dari jerat rentenir yang merugikan mereka. (Rep-01)