Diskusi “Kekerasan Kampanye di Papua”, di Fisipol UGM, Senin (18/4/2016). (sutriyati/kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Kekerasan Pemilu yang sering terjadi di Papua pada dasarnya terjadi karena terjadi penyimpangan kesepakatan antara masyarakat distrik dengan proses tabulasi data di KPU. Hal itu seperti diungkapkan Ketua Pokja Papua, Bambang Purwoko, dalam Diskusi “Kekerasan Kampanye di Papua”, di Fisipol UGM, Senin (18/4/2016).
“Jangan pernah membayangkan Pilkada di Papua itu sama dengan di Jawa, karena di Papua itu (sistem noken) bisa selesai 1-3 hari sebelum Pilkada, pada saat hari H pemungutan suara tinggal tanda-tangan saja,” kata Bambang.
Partai Politik, menurutnya hanya dianggap sebagai administrasi saja, sementara yang lebih kuat perannya dalam menentukan suara adalah otoritas primodial. “Sehingga kalau dari etnisnya kuat, apapun partainya jadi,” ucapnya.
Sementara Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Kuskridho Ambardi juga menjelaskan bahwa kekerasan dengan melibatkan ratusan atau bahkan ribuan orang untuk membakar kantor kecamatan maupun kantor KPU yang pernah terjadi di Papua itu adalah gerakan kolektif yang tidak mudah dilakukan.
Ditambahkan Ambardi, ada perbedaan menarik yang terjadi di Papua, pada Pemilu tingkat nasional dan Pilkada di tingkat lokal. Di tingkat Nasional, faktor etnis dan agama tidak penting untuk menjelaskan tentang pemilih. “Tetapi kalau Pilkada tingkat lokal itu sangat penting,” ucapnya.
Karena itu, ia berpendapat, collective action problem yang terjadi itu semestinya bisa diatasi dengan sentimen etnis. (Rep-03/Ed-03)