Aliansi Kawulo Elit Mataram Gelar Topo Pepe di alun-alun utara Yogyakarta, Rabu (26/4/2017). (sutriyati/kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Cuaca mendung tak menghalangi sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Kawulo Alit Mataram melakukan topo pepe di alun-alun utara Yogyakarta, Rabu (26/4/2017).
Namun, topo pepe yang digelar bertepatan dengan peringatan ke-28 tahun Sri Sultan Hamengku Buwono X naik tahta (tinggalan ndalem jumenengan) ini menurut koordinator umum dari elemen MPR DIY, Abdul Muhaimin, sebagai bentuk keprihatinan rakyat atas dinamika-dinamika negatif yang terjadi di internal keluarga besar keraton, akhir-akhir ini.
“Kami ingin memberikan satu sinyal agar keraton mataram sebagai center of culture tetap bisa dijaga dan dilestarikan untuk mengabdi sekaligus memberikan kesejahteraan kepada rakyat,” kata Muhaimin di sela-sela aksi.
Sebab, pimpinan pondok pesantren Nurul Ummahat Kotagede Yogyakartan ini mensinyalir, ada inftrasi-infiltrasi yang ditujukan untuk melemahkan keraton mataram.sebagai center of culture.
Pihaknya menyebutkan, upaya pelemahan itu terlihat dengan adanya sabda raja tentang penggantian gelar Sultan, yang pada intinya mengubah kata Buwono menjadi Bawono, serta menghilangkan kata “khalifatullah” yang identik dengan kepemimpinan dari kaum laki-laki.
Selain itu juga, adanya gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) dari sejumlah aktivis Yogyakarta yang mempermasalahkan pasal tentang syarat pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur di dalam Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY. Meskipun belum ada putusan di MK atas gugatan tersebut, namun Muhaimin mengaku khawatir karena itu justru berpotensi merusak paugeran keraton.
“Memperempuankan (keraton) Mataram adalah sebuah pemerkosaan peradaban,” tegasnya. Mengingat, secara historis, konseptual, spiritual, maupun simbolik, keraton mataram menunjukkan kepemimpinan laki-laki, bukan perempuan.
Sri Samin, salah satu aktivis Aliansi Kawulo Alit Mataram juga berpendapat bahwa perubahan gelar sultan yang pernah disampaikan melalui sabda raja itu semestinya berpengaruh pada pengisian jabatan gubernur DIY.
“Kalau merubah nama, itu secara otomatis jabatan gubernur kosong. Kenapa? karena dalam UUK DIY yang disebut Sri Sultan Hamengku Buwono bukan Hemengku Bawono. Akhirnya, dicabutlah perubahan nama di Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Tapi, diam-diam ternyata ada 11 aktivis yang mengajukan gugatan ke MK,” ujarnya.
Sementara dihubungi terpisah, Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) Yogyakarta, Anang Zubaidy menjelaskan, jika merujuk pada UUK DIY, memang Gubernur DIY dijabat oleh Hamengku Buwono. Ini, menurutnya sebagai nomenklatur yang tetap.
“Kalau ada perubahan nomenklatur, maka sudah tidak sesuai dengan semangat yang dimaksud oleh UUK DIY,” kata Anang
Hanya saja, Anang menambahkan, dengan penggantian gelar itu tidak serta merta posisi gubernur DIY menjadi kosong. Jabatan Gubernur masih tetap, sepanjang Keppres No 87/P/2012 yang mendasari pelantikan gubernur DIY belum dicabut.
Namun yang menjadi persoalan, lanjut Anang, adalah adanya perubahan nomenklatur dari yang sebelumnya Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono itu tidak disebut di dalam UUK DIY maupun Keppres.
“Artinya, ada problem dalam implementasi UUK dan Keppres. Bahasa lainnya adalah penyimpangan,” anggap Dosen Hukum Tata Negara UII ini. (Rep-03/Ed-03)