Politik Uang, Akar Korupsi Wakil Rakyat?

Ilustrasi (dok. Kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pria berambut cepak dan berkaos putih duduk di depan kami. Dia adalah Iskan, Bakal Caleg asal Gunungkidul. Sesekali, ia menghisap rokoknya sembari bercerita tentang pengalamannya mengikuti kontestasi Pemilu.

Bacaan Lainnya

Meskipun beberapa kali mengalami kegagalan, namun tak menyurutkan niat Iskan kembali nyaleg di Pemilu 2024. Keinginannya satu, menaikkan status sosial dengan menjadi pejabat.

Jadi pencalegan ini untuk mencari eksistensi, tegas Iskan ketika ditemui di kediamannya, baru-baru ini.

Iskan nyaleg pertama kali pada Pemilu 2009 dengan nomor urut 1, tapi tidak lolos. Kemudian pada Pemilu 2014, ia kembali nyaleg di dapil berbeda pun kembali gagal. Padahal, ia sudah menghabiskan uang sekitar Rp 500 juta, dengan asumsi bisa mengamankan 5 ribu suara.

Besarnya dana tersebut, kebanyakan ia bagikan kepada konstituen dan ratusan simpul massa di tingkat dusun kecamatan, dengan nilai Rp 30 ribu Rp 100 ribu per orang. Bahkan, pada malam menjelang pencoblosan, ia pernah membagikan uang Rp 125 juta dari hasil menjual dua ekor sapi.

Dia mengira, sikap apatis dan pragmatis di tengah krisis kepercayaan publik terhadap wakil rakyat memicu terjadinya money politic hingga ongkos politiknya menjadi sangat tinggi. Ada masyarakat yang menjanjikan dukungan dari 1 RT kemudian meminta komitmen Caleg, mereka akan mendapatkan apa?

Agus B. Santoso, pengurus salah satu parpol di Gunungkidul tak memungkiri bahwa realitanya, kandidat dengan modal sosial saja seringkali dikalahkan oleh calon yang berduit. Pengalaman itu dialaminya ketika menjadi Timses saat Pilkada.

Padahal, salah satu calon kami itu modal sosialnya dibangun selama bertahun-tahun, kata Agus saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Melenggang ke Parlemen dengan Strategi Mo Limo

Berbeda dengan pengalaman anggota DPRD DIY, Imam Taufik. Pemilu 2009, pertama kali Imam menjadi anggota DPRD Kabupaten Gunungkidul, DIY. Pria berkulit sawo matang ini mengaku, mendapatkan dana bantuan dari keluarganya kurang dari Rp 50 juta. Sebagian dana tersebut ia belikan mobil operasional seharga Rp 25 juta.

Imam sadar, keterbatasan modal membuatnya tidak leluasa melakukan politik uang, dan ia pun enggan melakukannya. Pria yang mengawali karir di dunia politik sejak 1998 ini memilih strategi penguatan modal sosial, dengan dia hadir di tengah masyarakat dan membantu mendapatkan akses program pemerintah. Baginya, itu bagian dari kampanye selama lima tahun yang saling menguntungkan.

Saya menyebutnya strategi ‘mo limo’. Artinya warga memberikan bantuan ke saya lima menit. Saya membantu mereka selama lima tahun, jelasnya.

Cara ini terbukti efektif. Lima tahun kemudian, Imam kembali menjadi anggota DPRD Gunungkidul, periode 2014  2019. Selanjutnya pada Pemilu 2019, Imam berhasil naik ke level provinsi di DPRD DIY, dengan total perolehan 10.627 suara, dan modal kurang dari Rp 100 juta.

Imam mengaku tertarik dunia politik sejak SMP, dengan menjadi simpatisan Parpol. Ketika kuliah, ia aktif di Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), dan di jamaah Salahuddin UGM yang mempertemukannya dengan banyak tokoh politik. Hal itu menumbuhkan kesadaran politik dalam dirinya.

Akar Persoalan Biaya Politik Mahal

Wasingatu Zakiyah dari Perempuan Anti Korupsi Yogyakarta berpendapat bahwa Sistem Pemilu Proporsional Terbuka memberi ruang bagi semua orang bisa nyaleg. Tapi, kebanyakan Caleg tidak memiliki basis massa dan modal sosial kuat sehingga biaya politiknya sangat tinggi. Sebab, ketika mereka akan masuk ke suatu wilayah harus membayar.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati menambahkan, faktor yang turut memengaruhi mahalnya biaya politik hingga memicu politik uang adalah proses panjang bagi Parpol untuk menjadi peserta Pemilu. Biayanya besar, sementara dana Parpol terbatas.

Mereka pun menerima sumbangan dari perorangan maupun korporasi. Tentu saja sumbangan itu tidak diberikan cuma-cuma. Akhirnya, hal pertama di benak mereka bukan mewujudkan visi-misi, melainkan mengembalikan modal para donatur dengan segala cara untuk meraup suara. Salah satunya, money politic.

Modus Money politic

Beragam modus politik uang yang dipakai peserta Pemilu dalam mendulang suara. Mantan anggota Bawaslu DIY, Sri Rahayu Werdiningsih mengungkapkan, modus terbanyak adalah pembagian sembako, voucher kuota internet, dan kupon berhadiah.

Di Gunungkidul, rata-rata bentuknya pemberian uang saku maupun uang transpor, katanya.

Mantan Ketua Bawaslu Gunungkidul, Tri Asmiyanto mengaku pernah menerima laporan dugaan politik uang. Modusnya, pemberian uang transpor. Namun setelah ditelusuri, tidak terbukti sebagai pelanggaran money politic.

Money politic termasuk Tindak Pidana Pemilu (TPP) sehingga bukti-buktinya harus memenuhi semua unsur. Kesulitan kami di subjek, perbuatan, dan waktunya, dalih Tri.

Anggota Bawaslu DIY, Agung Nugroho tak memungkiri, ada problem regulasi dalam pengaturan TPP sehingga membatasi geraknya untuk melakukan penindakan.

Pengamat: Money politic, Akar Korupsi Anggota Dewan

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana memandang politik uang sebagai aspek krusial yang harus dibenahi. Sebab, merujuk pada data korupsi di KPK, sepertiga tersangka yang ditetapkan KPK adalah unsur politik, mulai dari DPRD provinsi, kabupaten/kota, DPR RI hingga kepala daerah.

Meskipun belum dipastikan keterkaitannya dengan politik uang, namun menurutnya, politik uang sebagai tindakan memuluskan langkah mereka sebagai Caleg, dan mereka harus membayar balik politik uang ini.

Pengamat Politik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ahmad Norma Permata menyebut fenomena money politic sebagai salah satu akar korupsi di Negeri ini.

Ketika mengalami kesulitan mengembalikan modal, akhirnya mereka menggunakan politik dagang sapi antara produk kebijakan dengan money politic, paparnya.

Norma mengkategorikan itu sebagai kongkalikong antara anggota dewan dan pengusaha yang ingin memuluskan bisnisnya. Sebab, bisnis besar sangat terpengaruh oleh kebijakan pemerintah. Begitu pun proyek pengadaan di pemerintah yang sering diperebutkan, itu desain awalnya selalu dari DPR.

Aktivis Jogja Corruption Watch (JCW), Baharuddin Kamba mensinyalir, celah yang banyak digunakan anggota dewan dalam melakukan korupsi adalah proyek pemerintah. Modusnya, mereka tidak terlibat langsung, tetapi menempatkan orang dalam proyek tersebut.

Dampak korupsi wakil rakyat ini secara material merugikan keuangan negara. Di DIY, hampir semua anggota DPRD Kabupaten Gunungkidul dan Kota Yogyakarta periode 1999  2004 terjerat kasus korupsi Dana Purna Tugas, dengan total kerugian materiil mencapai Rp 6 Miliar.

Korupsi juga merugikan masyarakat. Bagi warga Gunungkidul, Supriyono, kasus korupsi yang menjerat para wakil rakyat membuatnya prihatin dan kecewa.

Masyarakat bisa marah dan tidak rela, jika ada wakil rakyat yang korupsi karena dampaknya juga ke masyarakat, ucapnya.

Dilema Hewan Kurban Hasil Money politic di Desa APU

Perlawanan terhadap politik uang bukan perkara mudah. Inisiator Desa Anti Politik Uang (APU) Murtigading di Bantul, DIY, Fauzi Noor Ahmad mengaku banyak dimusuhi, lantaran mengkampanyekan anti politik uang. Melawan politik uang itu butuh idealisme, tegasnya.

Fauzi sering menggunakan ayat-ayat Al Qur’an terkait larangan suap guna menumbuhkan kesadaran warga. Berkat kegigihan dan kesabaran selama bertahun-tahun, kesadaran masyarakat tumbuh perlahan. Terbukti, ada warga yang dilema ketika akan menyembelih kambing hasil money politic sebagai hewan kurban saat Idul Adha.

Fauzi bersama relawan Tim 11 Desa Murtigading juga berhasil mendorong Pemerintahan Kalurahan Murtigading menerbitkan Peraturan Kalurahan (Perkal) tentang APU.

Pendidikan Politik, Tanggung jawab Siapa?

Peneliti Perkumpulan Ide dan Analitika Indonesia (IDEA) Yogyakarta, Ahmad Hedar berpendapat bahwa animo masyarakat berpartisipasi dalam Pemilu langsung pasca reformasi cukup besar sehingga semestinya dibarengi dengan pendidikan politik. Ini merupakan tanggung jawab Parpol dan penyelenggara Pemilu.

Pendidikan politik yang dimaksud, tidak hanya diberikan menjelang Pemilu. Melainkan, edukasi tentang hak, kewajiban, dan larangan-larangan dalam Pemilu.

Tidak justru mengajarkan politik transaksional, tegasnya.

Namun faktanya, warga Gunungkidul, Darmi mengaku tidak pernah mendapatkan sosialisasi dari Parpol maupun Caleg, saat menjelang maupun setelah Pemilu. Saya belum pernah didatangi Caleg, ucapnya.

Terpisah, anggota KPU DIY, Zaenuri Ikhsan menjelaskan, program pendidikan politik merupakan tupoksi Bawaslu. Namun demikian, pihaknya turut menyampaikan itu di berbagai forum.

Didik Mukrianto selaku Pengurus DPP Parpol mengatakan, di tingkat kepengurusan, ada dana bantuan Parpol yang salah satunya untuk pendidikan politik. Saat anggota DPR/DPRD melakukan reses juga memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

Guna meminimalisir politik uang, Didik mengatakan, masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa pelaku dan penerima money politic bisa terkena sanksi pidana.

Ketika UU Pemilu Lemah dalam Menangkap Politik Uang

Koordinator Komite Independen Sadar Pemilu (KISP), Moch. Edward Trias Pahlevi menilai, selama ini, UU Pemilu masih lemah dalam menangkap praktik politik uang sehingga perlu perbaikan sistem dan undang-undangnya.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, Pakar Hukum Pidana UMY, Trisno Raharjo menekankan, pelanggaran money politic semestinya tidak dibawa ke ranah hukum pidana, melainkan hukum administrasi. Ini bisa dijalankan oleh KPU atau Bawaslu dan akan memberikan efek jera karena peserta yang melanggar dilarang kampanye atau bahkan tidak dipilih.

Anggota Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah ini berharap, pasca Pemilu, UU tentang Pemilu dirapikan kembali secara serius sehingga bisa berlaku dalam jangka Panjang, minimal 20 tahun. (Red-02)

 

Tulisan ini merupakan Liputan Khusus Pemilu yang berkolaborasi antara jurnalis kabarkota.com dan rri.co.id atas fellowship Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) untuk Proyek ExcEL Award Story Grants 2023.

Pos terkait