Potret Kemiskinan di Yogyakarta

Suparno, salah satu warga di bantaran sungai Code Yogyakarta (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Di rumah semi permanen berukuran 7×11 meter persegi, Suparno tinggal sebatang kara, sejak tujuh bulan terakhir. Kakek 78 tahun ini, setiap hari bekerja serabutan untuk menyambung hidupnya.

Kula meniko namung mbecak, sinambi meniko pados sampah (saya cuma tukang becak, sembari mencari sampah),” kata Suparno saat ditemui di rumahnya yang berada di bantaran sungai Code Yogyakarta, Rabu (10/7/2019).

Bacaan Lainnya

Pria asal Purworejo Jawa Tengah ini mengaku sudah menjadi pengayuh becak sejak 50 tahun terakhir. Namun, karena fisiknya yang sudah menua dan tenaganya tak sekuat dulu, ditambah dengan maraknya ojek online, membuat Suparno tak lagi bisa menggantungkan penghasilan dari pekerjaan tersebut.

Menawi sayah sanget, kulo pados bucalan (kalau sedang lelah mengayuh becak, saya mencari sampah),” ucapnya sembari merajut karung plastik berwarna putih untuk memulung sampah.

Dari usahanya itu pun, penghasilannya hanya berkisar Rp 10 ribu – Rp 15 ribu per hari. Itu pun terkadang, ia tak pergi bekerja karena kesehatannya yang naik turun, setelah istrinya meninggal dunia, pada bulan Januari 2019 lalu.

Kini untuk menyambung hidup, bapak empat anak ini bergantung pada bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) yang diberikan pemerintah setiap bulan, serta bantuan-bantuan lain dari para donatur yang berbaik hati.

Bantaran Sungai Code, Kantong Kemiskinan di Kota Yogya

Di bantaran sungai Code, tepatnya di Kampung Code Romo Mangun, RT 01/RW 01, Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta ini, kata
ketua RT 01, Darsiam, merupakan salah satu titik kantong kemiskinan. Dari 87 KK itu, menurutnya ada sekitar 30 Kepala Keluarga yang termasuk warga kurang mampu dan mendapatkan bantuan melalui program pengentasan kemiskinan, baik dari pemerintah pusat berupa PKH, maupun Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta, seperti Keluarga Menuju Sejahtera (KMS). Salah satu indikator kemiskinannya, warga menempati lahan yang mereka tak punya hak untuk memiliki.

“Kami di sini menempati tanah wedi kanser, dengan mayoritas warga di sini adalah pemulung, tukang becak, dan pekerja tidak tetap,” ungkap

Selain bantuan yang sifatnya tunai, lanjut Darsiam, wilayahnya juga mendapatkan kucuran dana bantuan lainnya, seperti Dana Kelurahan yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur jalan inspeksi dengan harapan bisa menggeliatkan perekonomian warga kampung. Termasuk juga program “Gandeng Gendong” yang diluncurkan oleh Pemkot Yogyakarta.

Program “Gandeng Gendong” ini merupakann program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dengan melibatkan lima elemen masyarakat mulai dari pemerintah daerah, kampus, korporasi, kampung dan komunitas.

Hanya saja, Pihaknya menilai, program ini masih kurang efektif karena pembayaran yang dilakukan berupa non tunai. Padahal, para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang terlibat umumnya modal yang dimiliki masih terbatas, sehingga cukup kesulitan jika pembayaran tak diberikan secara tunai.

Gambaran masyarakat di bantaran Sungai Code ini hanya potret kecil dari kemiskinan yang ada di DIY, dengan berbagai persoalannya masing-masing.

Kemiskinan di DIY

Ditemui terpisah, Kepala Seksi Penanganan Fakir Miskin Pedesaan, Perkotaan, Pesisir Dinas Sosial (Dinsos) DIY, Sukamto menjelaskan, data kemiskinan di DIY masih mengacu pada PMK Tahun 2017 tentang Alokasi Pagu Subsidi Rastra dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) sebanyak 317.230 KK. Jumlah tersebut, terbagi atas 17.634 KK di Kota Yogyakarta, 47.323 KK di Kulon Progo, 97.472 KK di Bantul, 88.267 di Gunung Kidul, dan Sleman sebanyak 66.534 KK.

Namun ketika Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) telah didistribusikan dari pusat ke masing-masing daerah, ada permasalahan karena sebagian nama yang termasuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM) ada yang sudah meninggal, sudah pindah domisili, dan saldo nol.

Pihaknya mencontohkan, di Kota Yogyakarta, ada sekitar 6 ribu data By Name By Adress (BNBA) yang tak valid.

“Dari 17 ribuan KK itu, hanya sekitar 11 ribu KK yang tersalurkan,” ucap Sukamto di kantornya.

Namun demikian, Sukamto menegaskan, untuk pencairan tetap disesuaikan dengan kuota. Hanya saja, ada mekanisme penggantian KPM, yang diusulkan melalui Musyawarah Desa (Musdes) ataupun Musyawarah Kelurahan (Muskel). Selanjutnya, hasil usulan disampaikan ke Dinsos kabupaten/Kota untuk dientry data melalui aplikasi yang langsung terhubung ke Kementerian Sosial (Kemensos).

Sementara terkait dengan program pengentasan kemiskinan melalui program pemberdayaan masyarakat, diberikan dalam bentuk Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang masing-masing kelompok terdiri atas 10 KPM.

Sukamto manambahkan, pada tahun 2019 ini, di DIY ada 150 KUBE atau 1.500 KPM, dengan kucuran dana kurang lebih Rp 3 Miliar, yang dibagikan Rp 20 juta per kelompok. Ada juga Bantuan Keuangan Khusus (BKK) yang bersumber dari APBD DIY, dan akan diberikan dalam bentuk uang senilai Rp 3 juta per KK. Namun realisasinya masih menunggu terbitnya Peraturan Gubernur DIY. (Rep-01)

Pos terkait