PP Muhammadiyah: Materi RUU HIP banyak Bertentangan dengan UUD 45

Lambang Garuda Pancasila (dok. wikipedia)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Tim Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menilai, materi Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang sedang dalam pembahasan DPR RI justru banyak yang bertentangan dengan UUD 1945 dan sejumlah Undang-undang lainnya. Termasuk, UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Bacaan Lainnya

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir berpendapat bahwa landasan Perundang-undangan tentang Pancasila yang diatur di dalam TAP MPRS nomor XX/1966 juncto TAP MPR nomor V/1973, TAP MPR nomor IX/1978, dan TAP MPR nomor III/2000 beserta beberapa Undang undang turunannya sebenarnya sudah sangat memadai.

Menurutnya, dalam pasal 5 (e) UU 12/2011 dan penjelasannya, pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Artinya, peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

“RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi Undang-undang,” tegas Haedar dalam pernyataan pers PP Muhammadiyah yang diterima kabarkota.com, Senin (15/6/2020).

Selain itu, pihaknya menganggap, dengan meniadakan atau tidak mencantumkan TAP MPRS No XXV/1966 dalam salah satu pertimbangan RUU HIP juga termasuk masalah serius. Mengingat, poin (a) dari TAP MPRS itu, secara jelas dinyatakan bahwa paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakekatnya bertentangan dengan Pancasila.

“Pancasila dengan sila-sila yang ada didalamnya mengandung nilai-nilai fundamental yang tidak dapat dan tidak seharusnya diubah atau ditafsirkan ulang karena berpotensi menyimpang dari maksud dan pengertian yang sebenarnya, serta melemahkan kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara,” jelasnya

Memasukkan Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis pidato Soekarno 1 Juni 1945, menurut Haedar, sama dengan mereduksi Pancasila rumusan final pada 18 Agustus 1945, serta mengundang kontroversi dengan mengabaikan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai satu kesatuan rangkaian proses kesejarahan.

“Kontroversi akan berkembang jika Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan dimasukkan dengan alasan historis, maka 7 kata dalam Piagam Jakarta juga dapat dimasukkan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis yang sama,” imbuh Haedar.

Hal senada juga disampaikan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti yang mengungkapkan bahwa dalam RUU HIP terdapat materi-materi tentang Pancasila yang justru bertentangan dengan rumusan Pancasila sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya pada Bab III, yakni Pasal 5, 6, dan 7.

“Selain itu, terdapat banyak materi yang menyiratkan adanya satu sila yang ditempatkan lebih tinggi dari sila lainnya. Termasuk mempersempit dan mengesampingkan rumusan final sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Materi-materi yang bermasalah tersebut secara substantif bertentangan dengan Pancasila yang setiap silanya merupakan satu  kesatuan yang utuh,” sesalnya.

Hal tersebut, tegas Mu’ti, juga bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan sebagaimana diatur dalam pasal 5 (c) UU 12/2011.

Mu’ti mengaku khawatir, jika RUU HIP yang mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat ini tetap dipaksakan pembahasannya, maka berpotensi menimbulkan kontroversi yang kontra produktif, serta membuka kembali perdebatan dan polemik ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila yang sudah berakhir dan harus diakhiri setelah tercapai kesepakatan luhur, arif, dan bijaksana dari para pendiri bangsa.

“Kontroversi RUU HIP akan menguras energi bangsa dan bisa memecah belah persatuan, lebih-lebih di tengah negara dan bangsa Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19 yang sangat berat dengan segala dampaknya,” anggapnya.

Padahal, kata Mu’ti, tujuan UU itu untuk menciptakan tertib sosial, kedamaian, kesejahteraan, perlindungan dan kepastian bagi setiap warga negara. Terlebih, kedudukan Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden nomor 7/2018 sudah sangat kuat. Kedudukan BPIP sebagai badan yang bertugas membantu Presiden tak perlu ditetapkan dengan UU secara khusus.

Pihaknya menambahkan, agenda terberat yang sangat penting dan prioritas ialah menjalankan Pancasila secara nyata dalam seluruh aspek kehidupan, disertai keteladanan para pejabat negara dan ketaatan warga bangsa. Sedangkan, mengandalkan peneguhan dan pengamalan Pancasila pada perangkat Perundang-undangan yang kontroversial secara terus-menerus justru akan semakin menjauhkan dari implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Oleh karenanya, PP Muhammadiyah mendesak DPR agar lebih sensitif dan akomodatif terhadap arus aspirasi terbesar masyarakat Indonesia yang menolak RUU HIP. Bangsa Indonesia perlu belajar dari dua pengalaman sejarah kekuasaan di masa lalu, ketika perumusan Perundang undangan atau kebijakan penerapan ideologi Pancasila disalahgunakan dan dijadikan instrumen kekuasaan yang bersifat monolitik oleh penguasa.

“Kami mengimbau agar semua pihak tetap tenang dan memupuk kebersamaan dalam semangat Persatuan Indonesia. Semoga Allah SWT melindungi bangsa Indonesia,” tuturnya. (Ed-02)

Pos terkait