Presiden Prabowo ingin Pilkada melalui DPRD, Ini kata PSHK FH UII Yogya

Ilustrasi: Bupati Sleman, Kustini Sri Purnomo (kanan) saat menggunakan hak pilih dalam Pilkada 2024, pada 27 November 2024. (dok. kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Baru-baru ini, Presiden RI, Prabowo Subianto menggulirkan wacana mengubah desain Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur, Bupati, maupun Walikota tidak lagi dipilih langsung oleh masyarakat daerah, melainkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat.

Menyikapi hal tersebut, peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII), M Addi Fauzani berpandangan bahwa secara yuridis, wacana Pilkada melalui DPRD ini menafikkan setidaknya dua mandat konstitusional yang telah diberikan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No. 55 Tahun 2019.

Pertama, mandat konstitusi tidak lagi membedakan rezim (asas dan prosedur) pelaksanaan Pilkada dan Pemilihan Umum (Pemilu). Hal tersebut berarti bahwa asas Pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luberjurdil) sebagaimana diatur di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945, juga harus diterapkan dalam asas dan prosedur pelaksanaan Pilkada.

Kedua, mandat konstitusi untuk Pembentuk Undang-Undang tidak acap kali mengubah model Pemilu maupun Pilkada yang diselenggarakan secara langsung dan serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaannya.

Sedangkan secara filosofis, lanjut Addi, wacana Pilkada langsung diubah menjadi lewat DPRD telah benar-benar mengukuhkan kemunduran demokrasi di Indonesia.

Menurutnya, berdasarkan data Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2023, Indonesia sudah berada di peringkat ke-56 dengan skor 6,53, turun dua tingkat dari tahun 2022 (skor 6,71). Pengukuran Indeks Demokrasi EIU meliputi lima dimensi, yakni proses Pemilu dan pluralisme, keberfungsian pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Dengan skor tersebut, demokrasi Indonesia masuk dalam kategori cacat (flawed democracy). (Green Network, 2024)

Lebih lanjut Addi menjelaskan, secara sosiologis, wacana Pilkada melalui DPRD yang didasarkan pada alasan efisiensi prosedur maupun anggaran merupakan alasan yang sangat lemah.

“Hal ini mengingat baik Pilkada secara langsung maupun lewat DPRD sama-sama rentan akan money politic,” tegas Addi dalam siaran pers yang diterima kabarkota.com, pada 16 Desember 2024.

Narasi mahalnya biaya politik Pilkada langsung, sebut dia, justru terkesan menyalahkan rakyat. Padahal, biaya mahal lahir karena politisi menggunakan cara-cara instan dengan uang untuk mendulang suara.

Secara historis, lanjut Addi, usulan Pilkada dipilih oleh DPRD telah berulang kali dicoba disahkan oleh elite tetapi buntu. Terakhir, rencana tersebut dibatalkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2014, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

“Hal itu memperlihatkan bahwa upaya-upaya pembajakan demokrasi dan kedaulatan rakyat oleh elite akan selalu berakhir dengan kegagalan,” anggapnya.

Oleh karena itu, M Erfa Redhani yang juga peneliti PSHK FH UII berharap, Presiden Prabowo sebagai Kepala pembentuk UU dan anggota DPR tetap patuh pada mandat konstitusional bahwa Pilkada dilakukan berdasar asas Luberjurdil dan tidak mengganggu kepastian serta kemapanan prosedur.

“Kami meminta kepada Partai Politik untuk tidak mendukung wacana Pilkada melalui DPRD karena akan mengukuhkan kemunduran demokrasi dan menjadikan Partai Politik sebagai pembajak demokrasi,” ucapnya.

Selain itu, PSHK FH UII juga mengimbau seluruh elemen masyarakat agar mengawal dan memberikan pengawasan kepada Pembentuk Undang-Undang supaya tetap teguh pada komitmen kedaulatan rakyat. (Ed-01)

Pos terkait