Logo PSHK UII (dok. twitter)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta mendukung usulan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Direktur PSHK UII, Allan F.G Wardhana menganggap, di satu sisi, UU ITE memiliki dimensi positif sebagai sarana pembatasan bagi kebebasan berekspresi di ruang digital. Namun, UU tersebut juga memiliki sisi negatif, karena pembatasan yang secara vertikal dianggap sebagai alat bagi penguasa untuk membungkam kritik masyarakat. Sedangkan secara horizontal juga bisa menjadi pemicu fenomena saling lapor.
“Adanya persinggungan antara pemberian ruang kebebasan dengan pembatasan tersebut menjadi dimensi yang perlu untuk ditemukan jalan tengahnya,” kata Allan dalam siaran pers yang diterima kabarkota.com, jumat (19/2/2021).
Menurutnya, mekanisme pengaturan terhadap ruang kebebasan berekspresi masyarakat itu berlandaskan pada kosntitusional yang kuat, yakni pasal 28J UUD 1945. Pasal tersebut mengatur tentang pembatasan berdasarkan hukum (by law), pembatasan atas dasar ketertiban umum, serta, pembatasan dalam rangka menjaga agar demokrasi berjalan baik. Pembatasan tersebut, lanjut Allan, sebenarnya sejalan dengan konsep demokrasi di Indonesia, yakni demokrasi konstitusional (constitutional democracy) atau demokrasi berdasar atas hukum (democratische rechtstaat).
Dalam konteks UU ITE, Allan berpendapat bahwa meskipun pembatasan tersebut sesuai kosntitusi, namun pembatasan kebebasan dalam UU ITE ini masih dipertanyakan.”Apakah ini sudah didasarkan atas alasan yang sah dan sejalan dengan prinsip demokrasi?” tanya Allan.
Mengingat, jika merujuk pada UU ITE, terdapat tujuh pembatasan terhadap hak berekspresi seseorang. Yakni, pembatasan terhadap informasi elektronik yang memiliki materi muatan melanggar kesusilaan (Pasal 27 ayat 1), perjudian (Pasal 27 ayat 2), penghinaan atau pun pencemaran nama baik (27 ayat 3), pemerasan dan/atau pengancaman (27 ayat 4), ujaran kebencian berdasar SARA (28 ayat 2), ancaman kekerasan secara pribadi (29), dan tak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 40 ayat 2a).
Sementara, lanjut dia, satu problem yang muncul menyangkut ketidakjelasan antara materi muatan yang dianggap penghinaan dengan kritik ,serta adanya anomali impelementasi pasal yang justru mereduksi perlindungan terhadap hak asasi seseorang.
“Acapkali celah problematik ini membuka ruang kriminalisasi terhadap orang-orang atau badan yang sebenarnya ditujukan untuk mengekspresikan kritik atau membela diri, dan melindungi pribadi seseorang, serta dijadikan sebagaimana data yang telah beredar,” paparnya.
Selain itu, Presiden sebagai representasi pemerintah juga telah memberikan instruksi yangmendorong DPR melakukan revisi UU ITE. Presiden juga meminta Kapolri merumuskan panduan penyelesaian kasus terkait UU ITE. Salah satunya pihak yang semestinya melapor adalah korban.
Oleh karenanya, PSHK UII berpandangan bahwa perlu adanya revisi terhadap UU ITE yang dilakukan secara komprehensif, khususnya pada pasal-pasal yang multitafsir dan berpotensi mengekang demokrasi.
“Penggunaan frasa yang multitafsir dalam UU ITE juga harus dijadikan bahan evaluasi, karena dalam praktiknya menimbulkan interpretasi beragam sehingga penerapannya seringkali kontraproduktif dengan upaya pembatasan kebebasan berekspsresi,” anggapnya.
Pembentukan panduan Kapolri terhadap penyelesaian kasus UU ITE juga belum menyentuh akar permasalahan. Melainkan sekedar upaya perbaikan di tataran impelementasi penegakan. Padahal, Due process of law atau proses hukum yang baik, benar, dan adil melingkupi tatanan lebih luas. Mulai dari tahapan pembentukan, proses, hingga penegakan hukum.
“UU ITE meletakkan sanksi pidana sebagai senjata utama (primum remidium) untuk menegakan larangan. Namun, karakter larangannya tidak seluruhnya tepat dikenakan pidana. Sebab ada pasal yang menyangkut ranah privat, seperti pasal penghinaan dan pencemaran nama baik yang semestinya ditempatkan di ranah perdata,” Allan menuturkan.
Di sisi lain, Allan menambahkan, ada juga penyelesaian pidana di luar peradilan yang menjadi opsi menarik untuk diterapkan. Artinya, sanksi pidana menjadi pilihan terakhir (ultimum remidium). Hal ini bisa menghindari sifat sanksi pidana yang cenderung menestapakan pelaku, dan berpotensi menciptakan ruang konflik lanjutan antarpihak yang tidak memulihkan permasalahan. (Ed-01)