Putusan MK tentang Syarat Usia Capres-Cawapres Dinilai Inkonsisten

Gedung MK (dok. facebook Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan pemohon terkait syarat usia calon presiden/calon wakil presiden membuka tafsir baru.

Peneliti PSHK UII, Yuniar Riza Hakiki berpendapat bahwa aspek-aspek non-yudiris (politis) terlihat sangat jelas menyelimuti perkara ini, dibanding aspek dan rasionalitas yuridis. Hal itu terbukti darimulai substansi perkara berkaitan erat dengan pencalonan/pendaftaran calon Presiden dan calon Wakil Presiden Pemilu 2024 hingga rangkaian persidangan dalam beberapa perkara yang substansinya serupa, tetapi dalam waktu yang tidak berjauhan menghasilkan pendirian (amar putusan) MK yang berbeda.

Selain itu, Menurut Yuniar, “Gerbong Majelis Hakim MK” juga terlihat jelas dalam memutus perkara tersebut. Ada konstelasi Hakim yang berubah dalam sekejap. Padahal, tidak ada fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat dan pendiriannya tidak disertai argumentasi yang sangat kuat.

Lebih lanjut Yuniar menegaskan bahwa dengan amar putusan yang ditegaskan “… pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, menunjukkan bahwa salah satu tujuan dari putusan tersebut adalah untuk kepentingan kelompok tertentu yang bakal cawapresnya sedang menduduki jabatan kepala daerah, atau dalam hal ini walikota.

“Putusan 90/PUU-XXI/2023 tidak konsisten dengan Putusan dalam kasus serupa sebelumnya,” kata Yuniar dalam siaran pers, pada Selasa (17/10/2023).

Sebab, kata dia, dalam putusan-putusan sebelumnya, MK bersikap persoalan ini menjadi kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), sekalipun ada Hakim yang berpendapat berbeda. Tetapi, dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK justru mengambil sikap judicial activism dengan menafsirkan melalui ketentuan lain.

“Dengan inskonsistensi MK yang demikian, maka itu telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta ambiguitas Putusan MK;” sesalnya.

Aprillia Wahyuningsih yang juga peneliti PSHK UII menambahkan, tafsir MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 sangat ekstensif dan ultra petita atau melampaui yang dimohonkan. Petitum pemohon bertumpu pada “berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”. Pemohon menggunakan “pengalaman” sekaligus “keberhasilan” Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai acuan. Artinya, permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak menyandarkan alasan-alasan permohonannya pada pejabat yang dipilih (elected official). Sedangkan, amar putusannya justru jauh menjadi “ … atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

“Putusan tersebut telah menyebabkan MK “terjerembab” pada posisi positif legislator yang dominan dan rentan akan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan kehakiman,” tegas Aprillia.

Konstruksi hukum yang dibangun MK dalam Putusan perkara tersebut sangat dangkal sehingga mudah dirobohkan. Itu terlihat dari tidak sinkronnya antara amar putusan dengan pertimbangan yang dibangun oleh para Hakim. Sebenarnya Hakim yang memutus sesuai dan persis dengan amar putusan hanya tiga Hakim.

Di lain pihak terdapat tiga Hakim yang tegas menolak melalui pendapat berbeda (dissenting opinion), dan satu hakim menyatakan seharusnya perkara ini tidak dapat diterima (NO). Sedangkan dua hakim yang juga dianggap mengabulkan sejatinya memiliki alasan berbeda (concuring opinion), yang pendapatnya tidak sama persis dengan tiga hakim yang mengabulkan. Sehingga, posisi lima hakim yang mengabulkan permohonan, meskipun dua hakim diantaranya terkesan sangat dipaksakan. Artinya, amar Putusan itu sebenarnya hanya dikabulkan oleh 3 Hakim saja.

Aprillia pun menganggap, proses persidangan dalam putusan MK ini tidak matang, holistik, objektif dan berbobot. Sebab, keputusan mengabulkan sebagian pemohon hanya dari membaca permohonan pemohon dan memeriksa bukti-bukti pemohon saja. Namun, MK dengan percaya diri menyatakan bahwa permohonan a quo telah jelas maka dengan mendasarkan pada Pasal 54 UU MK, Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi maupun kebutuhan untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana disebut dalam Pasal 54 UU MK dimaksud.

“Pendirian yang dibangun MK ini memberikan preseden buruk dan noktah hitam dalam perjuangan konstitusional,” sesalnya.

MK sebagai lembaga anak kandung reformasi, lanjut Aprillia, seharusnya melestarikan demokrasi dan menjunjung tinggi konstitusi sehingga rentan sebagai titik balik bagi rakyat untuk mulai menafikan penghormatan yang layak terhadap MK ke depan. Legalisme otokratis atau hukum yang digunakan sebagai alat untuk melegitimasi perbuatan/kepentingan para otokrat telah terjadi.

Untuk itu PSHK mendesak agar penyelenggaran negara tetap tunduk pada konstitusi dan tidak menjadikan hukum sebagai alat untuk menguntungkan segelintir orang. Hakim Konstitusi harus menjunjung tinggi nilai-nilai kenegarawanan dengan memperlihatkan sikap teguh dan konsisten terhadap penyelenggaraan negara yang konstitusional, melalui putusan-putusan yang dibangun atas pertimbangan matang, holistik, objektif, berbobot, logis, dan berkeadilan.

“Akademisi dan masyarakat sipil harus tetap memberikan pengawalan dan counter public untuk menciptakan kewarasan dan kejernihan dalam berpikir supaya penyelenggaraan negara tetap sesuai dengan hukum dan keadilan,” pintanya. (Ed-01)

Pos terkait