Ilustrasi (dok. istimewa)
KULON PROGO (kabarkota.com) – Di tengah kejar target pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang ditargetkan beroperasi terbatas pada April 2019, masih ada Pekerjaan Rumah (PR) yang ternyata belum tertuntaskan oleh PT Angkasa Pura I maupun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kulon Progo.
Adalah Paguyuban Warga Penolak Penggusuran-Kulon Progo (PWPP-KP) yang hingga kini masih pada pendiriannya, berusaha memperjuangkan hak hidup yang menurut mereka telah terampas, sejalan dengan pembangunan bandara baru di wilayah Kecamatan Temon ini.
Sofyan, salah seorang warga PWPP-KP mengaku, di tengah beratnya perjuangan mereka yang kini kehilangaan rumah dan mata pencaharian akibat lahannya digusur untuk pembangunan bandara, masih ada pihak-pihak yang berupaya masuk untuk memecah belah warga, terutama dengan menawarkan proyek sosial yang didanai Angkasa Pura I.
“Pihak-pihak ini mengiming-imingi warga dengan janji hunian sementara sambil menunggu persetujuan kami atas nilai ganti rugi dari mekanisme konsinyasi. Beberapa orang yang kami kenal dalam proses membujuk warga tersebut pernah menjadi kawan yang mengaku menolak proyek NYIA,” kata Sofyan melalui siaran persnya, Sabtu (26/1/2019).
Selain itu, secara sembunyi-sembunyi masuk pula tawaran mediasi untuk membujuk warga menjual tanahnya, melalui perangkat desa dan satgas Angkasa Pura I.
“Awalnya mediasi hanya menawarkan ‘solusi’ karena kebutuhan pembangunan yang akan menggusur makam. Alangkah liciknya mereka ketika pembicaraan yang buntu tersebut rupanya mengarah pada bahasan untuk menentukan nilai ganti rugi secara keseluruhan,” sesalnya.
Tak hanya berhenti sampai di situ, ungkap Sofyan, karena mediasi yang buntu tersebut tidak terenyurutkan ambisi Angkasa Pura I. Menurutnya, “upaya terakhir yang kami ketahui adalah mereka mengancam warga tidak akan mendapatkan apapun, meski mereka menyaksikan langsung bagaimana terhimpitnya keadaan warga setelah tidak punya rumah, tidak ada penghasilan, dan makan dari bantuan kemanusiaan’.
Ditambahkan Sofyan, himpitan hidup membuat warga makin putus asa membiayai sekolah anak dan tambahan biaya pengobatan karena kesehatan yang menurun akibat stres dan paparan cuaca buruk. Kesulitan itu yang kemudian memaksa sebagian warga untuk pasrah pada tawaran yang diajukan oleh Angkasa Pura I, melalui satgas dan perangkat desa. Saat ini warga yang konsisten menolak bandara tanpa syarat berjumlah sembilan kepala keluarga (28 jiwa), dengan tetap membawa nama organisasi PWPP-KP.
Sofyan menegaskan, penolakan yang mereka lakukan bukan tanpa alasan. Sebab, sejak awal rencana pembangunan NYIA, PWPP-KP tidak
pernah bersedia untuk menjual tanah pertanian dan rumah mereka.
“Pertanian adalah jalan hidup kami yang nilai fungsinya tak diragukan lagi. Lagi pula, sejarah kami hidup dan bertani adalah warisan budaya dan menjadi jaminan masa depan anak-cucu kami. Kami tidak mungkin menyerahkannya kepada siapapun, termasuk pada Angkasa Pura I. Saat ini kami masih menyimpan bukti sah sertifikat hak milik,” jelas Sofyan lagi.
Pihaknya juga menyadari bahwa berbagai cara dilakukan oleh Angkasa Pura I untuk menggugurkan status kepemilikan tanah mereka, termasuk dengan konsinyasi.
Berdasarkan hukum yang berlaku, proses konsinyasi hanya bisa dilakukan ketika ada
kesepakatan antara kedua belah pihak, yaitu warga dan Angkasa Pura I. Sedangkan dalam konteks ini, tidak pernah ada musyawarah ataupun kesepakatan atas proses konsinyasi tersebut.
Penolakan warga juga diperkuat dengan temuan para ahli yang menyebut bahwa lokasi pembangunan proyek bandara NYIA berada di wilayah rawan bencana gempa dan tsunami. Itu bertolak belakang dengan cerita leluhur mengenai keberadaan sarang Kinjeng Wesidi Kulon Progo, sebagaimana yang disampaikan oleh Jokowi dalam pidatonya saat peletakan batu pertama, pada 27 Januari 2017 lalu.
Di sisi lain, warga yang menolak Proyek Strategis Nasional ini juga mengaku mengalami berbagai bentuk kekerasan, selama proses pembangunan bandara berlangsung. Bahkan, ketika warga melaporkan tindak kekerasan dan intimidasi ke Polsek dan Polres Kulon Progo, juga Polda DIY, hingga kini tak ada tindak lanjut.
“Proses pengaduan hukum mandeg di tingkat Kepolisian, yang menunjukkan posisi
mereka sebagai pengawal pembangunan bandara NYIA,” anggapnya.
Imbauan Ombudsman Republik Indonesia Yogyakarta pun tak memperoleh tanggapan dari pihak-pihak terkait. Padahal, bagi mereka, pembangunan infrastruktur negara tersebut berlangsung tidak manusiawi, sehingga melanggar HAM. Termasuk, dengan pemindahan lokasi pemakaman milik warga.
“Seandainya memang benar untuk kepentingan umum seperti yang selama ini dikampanyekan oleh pemerintah, semestinya tidak ada pihak-pihak yang bernasib seperti kami, tidak membutuhkan bandara namun dipaksa menerima dan disingkirkan demi pembangunan bandara sebagai Proyek Strategis Nasional,” ucapnya.
Warga Dibujuk Berdamai dengan Angkasa Pura I
Sebelumnya, pada 20 Januari 2019 lalu, Direktur Indonesian Court Monitoring (ICM) Yogyakarta, Tri Wahyu KH yang selama ini juga turut mendampingi PWPP-KP mengungkapkan bahwa berdasarkan informasi dari warga di Temon, mantan ketua Lembaga Ombudsman Daerah (LOD) DIY, Ratna Mustika Sari sempat mendatangi warga petani.Kulon Progo penolak pembangunan bandara baru.
Kedatangan Ratna membawa Form Surat Permohonan Pengajuan Bedah Rumah kepada Bupati Kulon Progo, sebagai tindak lanjut penyelesaian masalah kesepakatan besaran ganti rugi untuk warga, sekaligus bentuk tali asih dari PT Angkasa Pura I.
“Mantan ketua LOD DIY itu sebelumnya sudah mengetahui bahwa proyek pembangunan bandara NYIA maladministrasi publik dan berpotensi tsunami. Sekarang malah melancarkan proyek” sesal Wahyu kepada kabarkota.com, 19 Januari 2019.
Belakangan diketahui bahwa Ratna adalah bagian dari Satgas Angkasa Pura I. Hanya saja, saat kabarkota.com mencoba menghubungi yang bersangkutan, nomer kontaknya tidak aktif lagi.
Kabarkota.com juga sempat mengkonfirmasi Bupati Kulon Progo, Hasto Wardoyo terkait adanya penawaran pemberian bantuan sosial, berupa bedah rumah bagi warga yang terdampak langsung, dan menolak pembangunan Bandara NYIA.
Hasto mengaku, pihaknya memang telah mengabulkan 34 rumah, namun tanpa adanya surat permohonan itu.
“Saya datang langsung ke mereka dan tanpa surat, mereka saya dorong untuk bisa berdamai, dan kami bantu dengan rumah-rumah itu,” jelas Hasto, 20 Januari 2019.
Tak hanya itu, Bupati Kulon Progo juga telah membantu menyelesaikan konsinyasi mereka secara total. Tujuananya, agar mereka tetap menerima ganti untung dari Angkasa Pura I, meskipun saat ini mereka belum bersedia menerima bantuan.
Sedangkan Taochid Purnomo Hadi selaku Project Manager Pembangunan Bandara NYIA justru mengaku tak tahu-menahu tentang adanya surat permohonan tersebut.
“Saya tidak tahu, tapi warga sudah tidak ada yang di dalam area proyek. Kami beranggapan proyek sudah bisa berjalan,” kata Taochid, saat ditemui wartawan di Bandara Adi Sudjipto Yogyakarta, 20 Januari 2019.
(Ed-02)