Rancangan Perpres Komisi Nasional Disabilitas Ditolak Masyarakat

Ilustrasi (dok. kabarkota.com)

JAKARTA (kabarkota.com) – Koalisi Nasional Pokja Implementasi Undang-Undang (UU) Penyandang Disabilitas menolak Rancangan Peraturan Presiden tentang Komisi Nasional Disabilitas (RPerpres KND) yang diinisiasi oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB).

Bacaan Lainnya

Anggota Koalisi dari PPUA Disabilitas, Ariani Soekanwo mengatakan, pembahasan RPerpres tersebut memang merupakan perintah dari Pasal 134 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016. Hanya saja, pembahasan yang tengah berjalan itu tidak transparan dan tidak partisipatif.

“Pembahasan RPerpres tidak transparan karena KemenPANRB tidak pernah secara resmi menyebarluaskan draft RPerpres KND,” ungkap Ariani melalui siaran persnya, Jumat (6/12/2019).

Bahkan menurutnya, ada penolakan ketika perwakilan Pokja datang ke KemenPANRB untuk meminta draft RPerpres, dangan dalih telah diserahkan ke Sekretariat Negara, sehingga disarankan untuk meminta langsung langsung kepada pihak yang bersangkutan.

Pemerintah, anggap Ariani, telah melanggar ketentuan Pasal 180 Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang mengatur bahwa instansi pemrakarsa pembentuk Perpres wajib menyebarluaskan Rancangan Perpres kepada publik.

Pihaknya juga mengaku, Pokja pernah mendapatkan undangan sekali dalam pembahasan RPerpres KND, pada awal tahun 2019. Pada pertemuan saat itu, ada beberapa hal yang disepakati. Namun, ada satu hal yang masih akan dibahas lebih lanjut, yaitu terkait dengan posisi dan kedudukan KND.

Draft dari KemenPANRB saat itu menempatkan KND melekat secara administratif kepada Kementerian Sosial (Kemensos),” jelasnya.

Anggota Koalisi daei PPDI, Mahmud Fasa menambahkan, Pokja tidak sepakat dengan konsep tersebut karena dua alasan. Pertama, UU Penyandang Disabilitas telah mengubah paradigma terhadap isu disabilitas menjadi pendekatan hak asasi manusia dibandingkan pendekatan rehabilitas sosial saja. Oleh karenanya, Kemensos saat tak lagi bertanggung jawab secara tunggal atas urusan disabilitas di Indonesia.

Kedua, Kemensos bukan leading sector dari isu disabilitas di Indonesia, karena tugas dan fungsinya dalam Perpres 46 Tahun 2015, mencakup rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin.

“Tidak ada khusus menyebut disabilitas,” tegasnya.

Sedangkan interpretasi dari Pasal 1 angka 20 UU Penyandang Disabilitas adalah hanya untuk mendefinisikan istilah “Menteri” yang digunakan dalam Pasal tertentu, yaitu Pasal 118, 119, dan 120 (Pendataan), Pasal 120 (Kartu Penyandang Disabilitas), serta Pasal 129 (Koordinasi). Sementara untuk Pasal lainnya, termasuk untuk KND menggunakan subyek “Pemerintah”, bukan “Menteri”.

Permasalahan lain, sebut Mahfud, terkait dengan jabatan Kepala Sekretaris KND yang hanya setingkat eselon III atau Jabatan Administrator yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Ketentuan itu menegaskan bahwa KND hanya lembaga setingkat dengan Direktorat dalam Kementerian, yang pimpinannya menempati jabatan eselon II.

“Jabatan Pimpinan KND yang tidak setingkat Menteri sangat berpotensi KND tidak dapat memiliki kewenangan atau kekuasaan setara dengan Kementerian, sehingga tidak memiliki kuasa dalam menentukan program dan anggaran lembaga KND secara mandiri,” imbuh Mahfud.

Mahfud menilai, hal itu kontraproduktif dengan tujuan pembentukan KND untuk melakukan fungsi pemantauan, evaluasi, dan advokasi.

Pihaknya berpendapat bahwa Ketiga fungsi itu hanya dapat berjalan efektif, jika lembaga tersebut bersifat independen atau setara dengan Kementerian/lembaga yang akan dipantau, dievaluasi, atau diadvokasi terkait dengan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Sementara Maulani Rotinsulu, anggota Koalisi dari HWDI juga menyoroti masalah pengisian anggota KND, yang menempatkan penyandang disabilitas hanya sebagai representasi dari ragam disabilitasnya saja, tetapi tidak dapat menjadi representasi dari profesi atau status sosialnya.

Dalam Pasal 7 ayat (2) RPerpres KND disebutkan bahwa Anggota KND berjumlah 7 orang yang terdiri atas 4 anggota berasal dari unsur yang mewakili 4 ragam disabilitas; dan 3 anggota berasal dari unsur nonpenyandang disabilitas yang dapat berasal dari unsur akademisi, praktisi, professional, dan masyarakat.

Ketentuan itu, kata Maulani, secara tegas menyatakan bahwa penyandang disabilitas tidak dapat masuk menjadi anggota KND dari jalur akademisi, praktisi, profesional, dan masyarakat. Padahal seharusnya ada dua jalur menjadi anggota KND, yaitu untuk mewakili ragam disabilitas dan mewakili latar belakang, akan tetapi tidak membatasi penyandang disabilitas untuk masuk melalui jalur berdasarkan latar belakang.

Berdasarkan hal tersebut, maka Koalisi Nasional Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas mendesak agar Presiden Republik Indonesia menegur Menteri PANRB, karena proses pembahasan RPerpres KND yang tidak transparan dan partisipatif.

Mereka juga meminta agar pemerintah segera menyebarluaskan draft terbaru RPerpres tentang KND kepada publik dan melakukan uji publik sebagai bentuk proses pembentukan yang transparan dan partisipatif.

“Kami mendesak proses perumusan dan pengesahan RPepres tentang KND dipercepat, dengan tetap mengedepankan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam proses pembentukannya,” harapnya.

Selebihnya, Koalisi berharap agar posisi pimpinan KND setara dengan Menteri, dan sekretariat dipimpin oleh Sekretaris Utama dengan eselon IA atau minimal sebagai kepala sekretaris dengan eselon II. Hal itu sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal 131 UU Penyandang Disabilitas yang menempatkan KND sebagai lembaga nonstruktural dan independen.

“Kami ingin pemerintah melekatkan KND secara administratif kepada KomnasHAM atau Kementerian Hukum dan HAM, dan tidak kepada Kemensos,” pintanya. (Ed-01)

Pos terkait