Ilustrasi (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Rencana relokasi parkir Malioboro yang akan dilakukan pada 4 April mendatang semakin membuat resah para Juru Parkir (jukir) karena dianggap tak mengindahkan dampak sosial mereka, yang selama ini telah menempati lahan tersebut sebagai sumber mata pencaharian.
“Kami bukan menolak penataannya, tapi kami belum sepakat dengan dampaknya itu solusinya bagaimana,” kata Ketua Paguyuban Juru Parkir Malioboro (PJPM), Sigit Karsono Putro saat dihubungi kabarkota.com, Sabtu (2/4/2016).
Sigit menyebutkan, ada 211 juru parkir yang akan terdampak atas kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta tersebut. Sementara, uang kompensasi sebesar Rp 50 ribu per hari yang dijanjikan Pemkot dirasa tak cukup untuk menghidupi keluarga para Jukir. Terlebih, sebelum adanya rencana relokasi, pendapatan mereka rata-rata Rp 150 – Rp 300 ribu per hari.
Karenanya Sigit meminta, agar Pemkot kembali menunda rencana pemindahan itu sampai tercapai kesepakatan untuk mengatasi dampak-dampak sosial bagi para Jukir.
Sebelumnya, kepada sejumlah media di Yogyakarta, baru-baru ini, Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti menegaskan bahwa relokasi parkir Malioboro mutlak dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat yang lebih besar, terutama kawasan pedestrian yang sudah benar-benar dibutuhkan masyarakat. Khususnya kaum difabel yang selama ini kesulitan mengakses jalan.
Sementara Sigit berharap, Pemkot masih memberikan ruang bagi para jukir untuk tetap mengais rejeki di lokasi tersebut, dengan memberikan sebagian luasan trotoar di sisi timur Malioboro, berbagi ruang dengan para pejalan kaki.
Rencana Pemerintah Kota Yogyakarta tersebut juga disayangkan oleh anggota DPRD Kota Yogyakarta, Fokky Ardiyanto. Kepada kabarkota.com, Kamis (31/3/2016) lalu, Fokky menyatakan penolakan atas kebijakan pemkot itu karena dinilai tidak komprehensif, kaitannya dengan masalah kesejahteraan.
Menurutnya, Pemkot hanya menghitung panjang parkir malioboro sama dengan panjang taman parkir aba tanpa melihat situasi di lapangan yang berpotensi menurunkan pendapatan jukir dalam memenuhi kehidupan rumah tangga mereka.
“Pembangunan apapun bentuknya tidak boleh mengorbankan sebagian kecil rakyat karena negara ini didirikan semua untuk semua,” ujarnya.
Seharusnya, lanjut Fokky, selain menata jukir ke ABA, Pemkot bisa saja menjamin keberlangsungan sekolah anak anak mereka, dengan memberi kebebasan biaya sekolah selama 1 tahun dan tidak membebani retribusi parkir. (Rep-03/Ed-03)