YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Sekitar 1000 ekor orangutan ditampung di enam Pusat Rehabilitasi Orangutan yang tersebar di Kalimantan dan Sumatera. Jumlah hewan yang ditampung ini bahkan melebihi dari kapasitas daya tampung. Diindikasikan hilangnya daerah habitat akibat alih fungsi hutan dan perburuan liar yang menyebabkan makin banyaknya orangutan yang harus diselamatkan.
“Orangutan ini menjadi korban dari dampak pembukaan sawit dan tambang, hasil perdagangan bayi orangutan dan perburuan liar,” kata Citrakasih, salah satu dokter hewan yang bekerja di pusat rehabilitasi orang utan di Kalimantan Tengah pada pertemuan komunitas dokter hewan yang bekerja untuk konservasi orangutan atau Orangutan Veterinary Advisory Group (OVAG) di Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Selasa (24/6).
Pusat rehabilitasi milik non-pemerintah ini menurut Citra, memang ditujukan khusus untuk menyelamatkan orangutan, hewan langka yang dilindungi negara. Keterbatasan daya tampung dari pusat rehabilitasi menjadi salah satu kendala untuk menampung bertambahnya jumlah orangutan yang harus diselamatkan.
“Misalnya untuk satu pusat rehabilitasi yang dikelola Yayasan BOS (Borneo Orangutan Survival-red), kapasitasnya 300 ekor, sekarang menampung 500-an orangutan,” katanya.
Di pusat rehabilitasi, kata Citra, dia sering menemukan bayi orangutan yang disita petugas ketika hendak dijual ke Thailand dan China. Bahkan juga ditemukan orangutan yang sakit dan cacat akibat perburuan liar. Sementara penyakit yang umum ditemukan pada orangutan sebelum masuk pusat rehabilitasi diantaranya pilek, diare, TBC, malaria, dan malnutrisi.
“Kita juga menemukan orangutan yang menjadi buta terkena tembakan peluru di kepalanya, ada juga yang mengalami trauma karena sempat disetrum,” katanya.
Dia mengungkapkan bahwa perhatian masyarakat dan media sangat membantu dalam upaya penyelamatan orangutan. Dia mencontohkan beberapa waktu lalu ada perusahaan di Kalimantan yang membuka lahan hutan dan tak segan-segan membunuh orangutan yang ditemukan di lapangan.
“Ketahuan media dan dipublikasikan, tindakan mereka berhasil dicegah,” paparnya.
Humas Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyebutkan, pertemuan tahunan para dokter hewan yang bekerja di pusat rehabilitasi orangutan ini rutin diselenggarakan di Fakultas Kedokteran Hewan. Pertemuan ini melibatkan para pakar orangutan dari Indonesia, Malaysia, Australia, Amerika Serikat Selandia Baru dan Jerman.
Salah satu pemerhati orangutan dari Universitas California, Amerika Serikat, Raffaella Commitante, Ph.d., menuturkan pertemuan ini sengaja dilaksanakan untuk peningatan kapasitas para dokter hewan Indonesia dan Malaysia. “Ada 36 dokter hewan yang yang menjadi anggota OVAG sebagian besar mereka bekerja di pusat rehabilitasi orangutan,” katanya.
Menurut Raffaella, para dokter hewan yang bekerja di lapangan ini justru yang lebih banyak tahu tentang dunia orangutan baik dari sisi kesehatan, perilaku, dan habitat orangutan. “Kita ingin nantinya mereka bisa menjadi ahli orangutan karena mereka lebih tahu dan sehari-harinya bekerja di konservasi orangutan,” katanya.
Pengajar Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Dr. drh. Indarjulianto, menyebutkan pertemuan tahunan ini juga sangat penting untuk kepentingan pendidikan dan pengejaran serta mendorong mahasiswa lebih peduli terhadap orangutan. Indar, sebagaimana ia akrab disapa, menyebutkan sebagian besar pusat rehabilitasi orangutan yang ada di Kalimatan dan Sumatera memperkerjakan dokter hewan lulusan FKH UGM. “Ada sekitar 15 dokter hewan yang bekerja di berbagai Pusat Rehabilitasi Orangutan,” pungkasnya. (muh)