Direktur CRI Yogyakarta, Elanto Wijoyono (dok. kabarkota.com)
BANTUL (kabarkota.com) – Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran 2024 yang sedang menjadi pembahasan di parlemen mengundang keresahan, tidak hanya insan media tetapi juga jaringan masyarakat sipil, termasuk di Yogyakarta.
Direktur Combine Resource Institution (CRI) Yogyakarta, Elanto Wijoyono mengungkapkan bahwa sebenarnya, RUU Penyiaran sudah cukup lama diinisiasi oleh jaringan masyarakat sipil. Mengingat, Negara dan publik menghadapi penetrasi teknologi informasi berbasis digital atau pun internet yang lebih luas dan memunculkan konsep serta bentuk media seperti sekarang, termasuk pelaku dan pemiliknya sehingga memang harus diatur.
Hal itu, sebut Elanto, yang mendorong jaringan masyarakat sipil agar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran didirevisi, sejak belasan tahun lalu
Hanya saja, pihaknya menyesalkan sikap pemerintah dan DPR RI yang merespon usulan masyarakat sipil tersebut, dengan kacamata yang berbeda. Cerminnya adalah munculnya draft RUU Penyiaran dengan versi yang sekarang
“Intinya, dengan situasi yang muncul sekarang, kita mendapatkan tambahan potensi ancaman pengekangan demokrasi dari Negara, yang menggunakan pasal penyiaran sebagai mediumnya,” tegas Elanto di usai Diskusi Publik tentang Penyiaran, di kantornya, baru-baru ini.
Padahal, sambung Elanto, media penyiaran sebagai bagian dari media massa adalah salah satu pilar dari demokrasi.
Baginya, ketika Negara terlalu mengintervensi ruang publik yang dalam konteks ini adalah ruang penyiaran, baik itu yang konvensional maupun digital, maka sebenarnya Negara menciderai demokrasi itu sendiri.
Lebih lanjut Elanto menyampaikan, secara teknis, pihaknya akan menjadi salah satu bagian dari elemen masyarakat sipil yang berjejaring dengan elemen masyarakat sipil lain untuk memastikan bahwa ada respon konkrit dari masyarakat terhadap rencana revisi UU ini.
Elanto menganggap hal itu penting dilakukan, lantaran isu tentang RUU ini tidak terlalu populer di masyarakat. Kalau pun masyarakat tahu biasanya hanya di permukaan saja, seperti dampak dari tindakan yang dilakukan oleh komisi penyiaran.
Sementara, publik harus tahu konteks yang lebih besar bahwa UU penyiaran juga berhubungan langsung dengan kualitas demokrasi kita.
“Ini bukan sekadar sensor maupun izin frekuensi, tetapi juga bagaimana Negara benar-benar bisa menyediakan ruang demokrasi yang transparan dan memang diberikan kepada publik,” ucapnya.
KPID DIY Berharap Penguatan Kelembagaan
Di lain pihak, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY, Hazwan Iskandar Jaya justru berpandangan bahwa RUU Penyiaran ini nantinya akan memperkuat posisi KPI dalam menjalankan amanatnya. Tidak hanya pada pengawasannya tetapi juga sistem penyiarannya baik di pusat maupun daerah.
“Karena kalau sistem penyiaran tidak terbangun, masyarakat tidak bisa “diarahkan” untuk mewujudkan tujuan negara kita yakni mencerdaskan kehidupan bangsa,” anggapnya.
Dengan demikian, KPID sebagai user berharap ada penguatan kelembagaan serta peran dan fungsinya
“Jika peran kami diperkecil, karena kami hanya diberi ruang untuk mengawasi kontennya saja, maka ini menjadi persoalan,” ucap Hazwan.
Sebab, kata dia, KPI tidak sekadar engawasi dan memberi sanksi, melainkan turut membangun konstruksi penyiaran agar menjadi bangunan yang berguna bagi masyarakat untuk menghadapi berbagai tantangan, seperti kualitas dan kesejahteraan mereka.
“Hal yang juga tak bisa dilupakan bahwa Penyiaran ini agak unik karena menggunakan frekuensi milik publik sehingga publik berhak mendapatkan asupan gizi lahir batin mereka melalui penyiaran itu,” paparnya.