Sejumlah Elemen Keagamaan di DIY Mengadu ke GKR Hemas

RDP elemen keagamaan dengan Anggota DPD RI, GKR Hemas di kompleks Keraton Kilen Yogyakarta, Kamis (8/4/2016). (Sutriyati/kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Sejumlah elemen masyarakat yang terdiri dari perwakilan warga, pimpinan agama, dan pendamping korban yang berasal dari beberapa gereja, kelompok ahmadiyah, dan pesantren waria, Jumat (7/4/2016) bertemu dengan anggota Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI dari DIY, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, di kompleks Keraton Kilen Yogyakarta.

Bacaan Lainnya

Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan tema Gerakan Intoleransi dan Upaya Mengatasinya ini, kebanyakan dari mereka mengeluhkan terkait seringnya berurusan dengan kelompok-kelompok intoleran sehingga merasa terancam dalam mendapatkan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Shinta Ratri selaku pengasuh Pondok Pesantren Waria Al Fatah Yogyakarta misalnya, terpaksa menutup pondoknya setelah beberapa waktu lalu sempat didatangi oleh kelompok intoleran dan menyegel lokasi tersebut.

“Kami ingin bisa belajar lagi di rumah saya, karena itu yang paling strategis di DIY,” kata Shinta.

Menurutnya, selama ini, pondok pesantren yang diikuti oleh para transgender tersebut mengajar dan mendidik waria dalam hal keagamaan. Pihaknya juga menyayangkan sikap dari aparat pemerintah dan penegak hukum setempat yang terkesan tidak memberikan perlindungan optimal kepada komunitasnya sebagai korban.

Kasus yang hampir serupa juga menimpa Joni dan jemaat dari Gereja Baptis Indonesia (GBI) Saman yang tempat peribadatannya sempat dibakar oleh oknum yang diduga dari kelompok intoleran pro kekerasan, pada 20 Juli 2015 lalu.

“Kami diminta oleh aparat desa dan kecamatan untuk tidak menggunakan gereja tersebut sehingga menggunakan rumah ibadah sementara,” keluhnya.

Rumah ibadah itu pun, lanjut Joni, harus berizin yang prosesnya sulit sehingga tidak terpenuhi persyaratannya.

Reza dari perwakilan Ahmadiyah menilai bahwa pengawasan dan pencegahan terhadap tindakan-tindakan intoleran di Yogyakarta selama ini tidak efektif. Selain itu, menurutnya juga ada gap komunikasi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok tersebut.

Masrudin, perwakilan dari Kantoe Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) DIY mengakui bahwa memang beberapa kasus intoleran yang sempat ditangani belum sepenuhnya tuntas hingga kini.

“Kemenag tidak punya kewenangan untuk mengatakan ormas itu sesat atau tidak,” tegasnya.

Meski begitu Masrudin menjelaskan, Kemenag mempunyai sikap terkait dengan penanganan permasalahan sosial tersebut. Diantaranya, meningkatkan pemahaman agama yang moderat, termasuk pemahaman tentang Jihad untuk menangkal radikalisme, mengurangi atau meniadakan pelabelan mayoritas dan minoritas agama yang menjadi pemicu konflik, serta aktif menjalin kemitraan dengan ormas keagamaan.

Sementara GKR Hemas berpendapat bahwa apa yang ada di atas kertas memang terkadang sulit diimplementasikan sehingga perlu pengawalan.

“MUI seharusnya punya peran yang berkeadilan,” ucapnya.

Untuk itu, istri Gubernur DIY ini juga menyatakan kesiapannya untuk kembali memfasilitasi forum-forum serupa, guna menindaklanjuti permasalahan tersebut. (Rep-03/Ed-03)

Pos terkait