Serikat Pekerja Didorong Perjuangkan Penerapan Upah Minimum Sektoral di DIY

Seminar Ketenagakerjaan bertajuk “Penerapan Upah Minimum Sektoral, Angin Segar atau Malapetaka bagi Pekerja dan Pertumbuhan Ekonomi di DIY”, di kantor DPD RI DIY, Selasa (10/9/2019). (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) –
Federasi Serikat Pekerja Niaga, Bank, Jasa, dan Asuransi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP NIBA SPSI) DIY didorong untuk terus memperjuangkan penerapan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) di DIY.

Bacaan Lainnya

Anggota Tripartit DIY, Kirnadi menganggap, perjuangan tersebut perlu terus dilakukan, di tengah masih rendahnya Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di DIY saat ini.

Menurutnya, berdasarkan hasil kajian dari Dewan Pengupahan maupun akademisi, ada sektor-sektor unggulan yang bisa meningkatkan kualitas upah pekerja di DIY, seperti seperti sektor pariwisata, perhotelan, dan otomotif.

“Itu memungkinkan untuk bisa di-upgrade upahnya,” kata Kirnadi dalam Seminar Ketenagakerjaan bertajuk “Penerapan Upah Minimum Sektoral, Angin Segar atau Malapetaka bagi Pekerja dan Pertumbuhan Ekonomi di DIY”, di kantor DPD RI DIY, Selasa (10/9/2019).

Kirnadi menjelaskan, upah rendah di DIY tak bisa dilepaskan dari proses panjang masa lalu terkait dengan kebijakan pengupahan yang didasarkan pada survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang masih berkualitas rendah. Kemudian, terbit Peraturan Pemerintah (PP) No 78/2015 yang menjadi standar baku mekanisme pengupahan di Indonesia.

Namun demikian, Kirnadi menilai, sebenarnya Gubernur memiliki kewenangan besar terhadap upah buruh di wilayahnya.Salah satunya melalui penerapan UMSK. Hanya saja, kewenangan tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal oleh Gubernur DIY. Di lain pihak, belum ada kesepakatan antar Serikat Pekerja di DIY terkait peningkatan upah atau kesejahteraan bagi mereka.

Sementara Kepala Bidang (Kabid) Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY, Arianto Wibowo menuturkan, hingga tahun 2020 mendatang, penerapan upah minimum masih mengacu pada PP No 78 Tahun 2015. Lima tahun kemudian, pemerintah baru akan menerapkan kebijakan baru terkait pengupahan.

“Sekarang di Kementerian sedang dilakukan kajian jumlah komponen KHL yang akan ditetapkan pada tahun 2021. Nah kuncinya di sini,” tegas Bowo.

Bowo menambahkan, Jika nantinya UMSK bisa ditetapkan di DIY, maka upah pekerja bisa lebih tinggi dibandingkan UMK maupun UMP. Hanya saja, Gubernur baru bisa mengakomodir harapan buruh tersebut, ketika sudah ada kesepakatan antara asosiasi perusahaan, Serikat Pekerja, dan pemerintah.

“Kendalanya, di DIY ini ada asosiasi perusahaan, tapi di mana keberadaan asosiasi itu tidak jelas,” sesal Bowo.

Kalau pun ada, lanjut Bowo, asosiasi itu berada di tingkat Kabupaten/Kota, sehingga sesuai peraturan, maka provinsi harus mendiskusikannya dengan berbagai pihak terlebih dahulu.

Berdasarkan Data Disnakertrans DIY, tahun 2019 ini, Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp. 1.570.922. Sedangkan UMK di Kota Yogyakarta Rp. 1.709.150; Sleman Rp. 1.701.000; Bantul Rp. 1.649.800; Kulon Progo Rp. 1.613.200; dan Gunung Kidup dengan UMK terendah sebanyak Rp. 1.571.000.

Di sisi lain, pihaknya tak memungkiri jika potensi sektor unggulan di DIY paling besar di bidang perhotelan. Pihaknya mencatat, saat ini, jumlah hotel di DIY mencapai 451 hotel berbintang maupun non bintang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 14 hotel berbintang satu, 18 hotel bintang dua, 24 hotel bintang tiga, 17 hotel bintang empat, dan tujuh hotel berbintang lima, serta 371 hotel non bintang yang tersebar di wilayah DIY.

Sedangkan Deri Nur Hadi dari Pimpinan Pusat (PP) FSP – NIBA SPSI berpendapat bahwa permasalahan UMSK ini tidak saja muncul saat sebelum diterapkan, tetapi juga saat sudah ditetapkan. Pihaknya mencontohkan dinamika penerapan UMSK di Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, sejak tahun 2017.

“Upah pekerja kalau bukan kita, siapa lagi yang memperjuangkan?” ucapnya. (Rep-01)

Pos terkait