Ilustrasi (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2024 memasuki tahap masa kampanye. Masa bagi para kandidat peserta Pemilu untuk memperkenalkan diri dan memengambil hati masyarakat agar memilih mereka pada 14 Februari 2024.
Namun, pesta demokrasi yang semestinya disambut gembira, khususnya oleh warga di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terciderai dengan adanya kabar duka atas meninggalnya salah satu simpatisan pendukung pasangan Capres Ganjar Pranowo – Mahfud MD di Sleman, Muhandi Mawanto setelah mengalami luka parah akibat dikeroyok sekelompok oknum yang diduga pendukung dari paslon capres lainnya, pada 24 Desember 2023 lalu.
Peristiwa-peristiwa memprihatinkan semacam itu, bukan sekali saja terjadi. Hampir di setiap masa kampanye, ada korban jiwa karena konflik perbedaan pilihan. Di lain pihak, penyelenggara Pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di semua lapisan selalu menggelar deklarasi Kampanye Pemilu Damai yang melibatkan peserta pemilu dan berbagai pihak terkait.
Pertanyaannya, mengapa konflik antarpendukung di tingkatan akar rumput masih kerap terjadi, bahkan hingga menyebabkan kematian. Padahal, deklarasi kampanye Pemilu damai sudah didengungkan berulang-ulang?
Dosen Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Doddy Wibowo berpandangan bahwa deklarasi kampanye pemilu damai dan peristiwayang terjadi di tingkatan akar rumput adalah dua hal yang relasinya tidak terhubung secara langsung. Artinya, tidak selalu deklarasi kampanye pemilu damai yang dilakukan oleh orang-orang di level atas itu otomatis diikuti pendukung mereka di tingkat bawah.
“Hal yang terjadi di akar rumput adalah kemelekatan identitas atau militansi identitas dan merupakan hasil dari proses internalisasi yang berlangsung lama,” jelas Doddy kepada kabarkota.com, pada Senin (1/1/2024).
Identitas ini, menurut Doddy, menjadi hal yang sangat berharga bagi mereka dan memengaruhi eksistensinya sebagai manusia. Mereka akan merasa berkurang nilai dirinya sebagai manusia ketika identitasnya diganggu. Untuk itu, mereka bisa melakukan apa saja untuk menjaga identitasnya.
“Membangun kemelekatan ini bisa memakai beragam cara. Salah satunya, dengan memenuhi kebutuhan dasar mereka oleh parpol sehingga terjadi ketergantungan dan kemelekatan pada parpol yang bersangkutan,” sambungnya.
Bebeda halnya dengan kemelekatan identitas parpol pada elit parpol. Doddy menilai, para elit parpol cenderung tidak memiliki kemelekatan yang kuat. Itu terbukti dengan mudahnya mereka berpindah dari satu parpol ke parpol lain.
“Elit parpol, kemelekatannya bukan pada identitas parpol melainkan pada kepentingan pribadi. Mereka mudah berpindah pada parpol yang bisa mengakomodir kepentingannya,” tegas Doddy.
Oleh sebab itu, lanjutnya, ketika ada deklarasi kampanye Pemilu damai yang melibatkan elit parpol, maka yang damai hanya para elitnya karena mereka tidak melihat pada kemelekatan terhadap identitas parpol sebagai hal yang penting.
Sementara, kata Doddy, para pendukung di level akar rumput yang sudah terlanjur memiliki kemelekatan kuat pada parpol dukungannya, maka mereka akan melakukan apapun untuk menjaga parpolnya.
Lebih lanjut Doddy berpendapat bahwa persoalan tersebut sebenarnya adalah buah dari sistem pendidikan. Bukan hanya pendidikan politik saja, tapi juga pendidikan secara umum.
“Ketika pendidikan umumnya sudah kacau, ya kita tidak bisa berharap pendidikan politik akan beres,” sesalnya.
Doddy menganggap, selama ini, sistem pendidikan yang diterapkan belum bisa membentuk pembelajar yang berpikir kritis, serta mampu mempertanyakan ketidakadilan di masyarakat. Mengingat, sistem pendidikan saat ini baru menghasilkan pembelajar yang daya pikir kritisnya hanya digunakan dalam dunia kerja, bukan tentang keadilan sosial di masyarakat.
“Selama sistem pendidikan masih seperti ini, maka hanya akan menghasilkan warga negara terutama yang di akar rumput yang mudah dimobilisasi untuk kepentingan para pihak yang memiliki kekuasaan besar, tanpa menyadari bahwa mereka adalah bagian dari korban ketidakadilan,” ucapnya.
Untuk itu, Doddy menganggap, hal terpenting yang harus dilakukan adalah dengan mengedukasi para elit parpol yang mempunyai kuasa besar. Sebab, mereka yang bisa menggerakkan para pendukungnya di tingkatan akar rumput. Selain itu, masyarakat di akar rumput juga perlu mendapatkan pendidikan politik. Meskipun, itu tidak akan efektif mengubah istuasi, jika para elit parpol masih menyalahgunakan kuasa mereka.
“Kita butuh elite parpol dan pemangku kepentingan yang punya hati dan etika, yang bergerak karena ketulusan untuk memperjuangkan keadilan sosial,” sebut Doddy.
Masyarakat sipil, seperti akademisi dan organisasi masyarakat yang peduli dengan pendidikan politik, kata Doddy, juga bisa memberikan pendidikan politik kepada masyarakat di level akar rumput.
“Asumsi kita, akademisi maupun organisasi masyarakat sipil menjadi pihak yang tidak memiliki kepentingan, selain agar masyarakat akar rumput tidak lagi menjadi alat elit parpol,” tutur Doddy. (Rep-01)