Sistem ini Dianggap Membuka Celah Lebar Politik Uang dalam Pemilu

Peluncuran Buku Pembiayaan Pemilu di Indonesia, pada Kamis (27/12/2028), di Yogyakarta. (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Sejak Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia menganut sistem proporsional terbuka yang ditetapkan pertama kali pada Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2019, haluan strategi para Calon anggota Legislatif (Caleg) mulai berubah.

Bacaan Lainnya

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Mihtadi menjelaskan, beberapa bulan sebelum Pileg 2009, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, Indonesia menganut sistem proporsional terbuka, dengan menetapkan sistem suara terbanyak.

Sejak itu, potret persaingan antarcaleg berubah drastis Penerapan sistem suara terbanyak membuat mereka memiliki insentif menggunakan politik uang untuk mengejar suara personal. Namun, karena keterbatasan waktu, sejak Keputusan MK ditetapkan banyak caleg yang tak sempat mengubah haluan strategi elektoral mereka. Terbukti, hanya sekitar 10% pemilih yang mengaku disasar politik uang di Pileg 2009.

“Pada Pileg 2014, para caleg sudah jauh-jauh hari mempersiapkan pendekatan personal, termasuk dengan memakai taktik jual beli suara. Akibatnya insiden politik uang meningkat lebih dari tiga kali lipat dan menempatkan Indonesia ke peringkat ketiga negara di dunia yang pemilunya paling banyak diwarnai suap dalam apemilu,” kata Burhan dalam Peluncuran Buku Pembiayaan Pemilu di Indonesia, pada Kamis (27/12/2028), di Yogyakarta.

Menurut Burhan, pemberlakuan sistem tersebur juga membuar caleg mengeluarkan biaya politik yang besar dalam rangka menjalankan operasi politik uang ini. Meskipun, studi telah menunjukkan bahwa politik uang bukan hanya meniscayakan sumberdaya yang besar, tapi efektivitasnya di lapangan juga sering dihantui oleh malpraktik (agency problems) karena Timses seringkali berlaku curang dalam mendistribusikan imbalan material kepada pemilih.

“Pada saat yang sama, salah sasaran juga sering mewarnai operasi politik uang. Alih-alih menyasar pemilih loyal yang dianggap bisa diandalkan dukungannya, banyak caleg dan timses yang malah memberikan imbalan materi ke pemilih mengambang yang tak bisa dipastikan dukungan elektoral ke caleg yang memberikan uang,” sebut dosen di Prodi Ilmu Politik, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Hal ini, lanjut Burhan, disebabkan karena sedikitnya jumlah pemilih partisan yang loyal, dan diperebutkan oleh para caleg dalam satu partai politik, terutama dalam konteks sistem proporsional terbuka. Definisi loyal dan pemilih basis di Indonesia juga bersifat ambigu sehingga caleg dan timses suka mencampuradukkan antara kecenderungan partisan dengan jaringan personal.

“Problematika politik uang inilah yang mengakibatkan efek elektoralnya tampak tak terlalu besar,” anggapnya.

Oleh karenanya, Burhan merekomendasikan adanya perubahan desain institusional, penegakan hukum, dan pendidikan kewargaan dalam rangka mengurangi praktik politik uang.

Ia mencontohkan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup di Timor-Leste yang berhasil engurangi insentif partai politik atau caleg dalam memakai taktik suap di pemilu.

Meskipun demand-side pemilih Timor-Leste terhadap politik uang termasuk tinggi di mana 33% warga menilai politik uang itu wajar dalam Pileg 2017, insiden politik uang di negara tersebut sangat jarang terjadi. Hanya 4% pemilih yang mengaku disasar politik uang. Hal ini terjadi karena sistem proporsional tertutup
yang dipakai Timor-Leste menjadikan partai politik sebagai pemain utamanya.

Selain itu, sistem pemilu distrik juga bisa menjadi pilihan. Mengingat, studi telah menunjukkan bahwa sistem distrik, terutama yang bercirikan single member constituency, mendorong pertanggung-jawaban politik ke konstituen lebih besar dan terbukti mengurangi politik uang. Ini terjadi karena hanya satu wakil yang terpilih dalam satu dapil sehingga insentif melakukan politik uang semakin
berkurang.

“Sistem distrik juga menggunakan the winner takes all di mana caleg yang mendapat suara terbanyaklah yang mewakili dapil tanpa memperhitungkan selisih perolehan suara. Intinya, karena dalam sistem distrik hanya satu wakil yang terpilih dalam satu dapil, maka insentif caleg dalam menggunakan politik uang,
sebagaimana terjadi dalam sistem multi-member constituency, menjadi berkurang drastis,” paparnya.

Lebih lanjut Burhan juga mengingatkan, agar Bawaslu, media massa, dan LSM bersinergi guna melakukan pendidikan politik kepada warga tentang bahaya politik uang. (Rep-01)

Pos terkait