Soal Tuduhan Makar dalam Rencana Aksi 212, Ahli Hukum UII: Itu harus Dibuktikan

Ilustrasi (suara merdeka)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pasca penetapan status hukum gubernur DKI Jakarta non aktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama, tak lantas membuat sebagian umat Islam merasa cukup. Bahkan pada 2 Desember 2016 mendatang, FPI bersama GNPF MUI telah menegaskan akan kembali turun ke jalan untuk menggelar Aksi Bela Islam (ABI) III, dengan agenda mendesak penegak hukum untuk menahan Ahok.

Bacaan Lainnya

Namun, Kapolri, Tito Karnavian secara tegas melarang rencana aksi yang juga disebut sebagai aksi 212, dengan dalih akan mengganggu ketertiban publik, karena aksi gelar sajadah untuk salat di sekitar Jalan MH Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, dan Bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta. Selain itu, Kapolri juga mensinyalir adanya gerakan makar dalam aksi tersebut nantinya.

Menanggapi hal tersebut, ahli hukum tata negara Universitas Islam Indonesia, Ni’matul Huda berpendapat bahwa statemen Kapolri yang mengindikasikan adanya makar merupakan hal yang serius sehingga perlu pembuktian, agar tak terkesan mendiskreditkan kelompok tertentu.

“Statemen itu memang harus dibuktikan. Apa benar bahwa teman-teman yang akan melakukan unjuk rasa itu arahnya makar atau tidak. Karena kalau nanti itu mendiskreditkan kelompok Islam kan juga jadi runyam,” kata Ni’ma saat dihubungi kabarkota.com, Selasa (22/11/2016).

Ni’ma menyayangkan, jika kasus Ahok ini mejadi pemecah persatuan. “Kalau kita terlalu merespon Ahok itu terlalu mahal kalau kemudian menjadikan Indonesia pecah,” anggap penasehat Pusat Studi Hukum Konstitusional (PSHK) UII ini.

Menurutnya, berbeda pendapat itu merupakan hal yang wajar, namun tidak harus destruktif, melainkan konstruktif. “Sepanjang hukum masih berjalan, kenapa harus merusak? Kenapa harus dengan cara-cara yang memaksakan kehendak?” Ujarnya.

Di sisi lain, jika wacana aksi 212 itu kemudian berujung pada langkah-langkah pelarangan ataupun menangkap pihak-pihak yang diindikasikan akan melakukan gerakan makar, maka Ni’ma menganggap, kebebasan di era demokratisasinya akan menjadi sangat represif sehingga, akan tidak jalan.

“Ditunggu saja, sepanjang itu hanya statemen, tetapi membakar massa atau mengajak orang lain untuk melakukan hal-hal yang destruktif, pemerintah tidak bisa masuk di situ. Anggap saja itu bagian dari demokrasi, tetapi demokrasinya dewasa dan konstruktif,” pintanya. (Rep-03/Ed-03)

Pos terkait