Diskusi Publik “Apakah politik identitas masih relevan dalam kampanye pemilu 2024 di media sosial?” di UII Yogyakarta, pada 11 Mei 2022 (screenshot kanal youtube Universitas Islam Indonesia Yogyakarta)
SLEMAN (kabarkota.com) – Memasuki tahun politik jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, politik identitas seringkali dijadikan strategi yang digunakan untuk merebut dan mencari kekuasaan.
Pakar Politik UGM, Wawan Mas’udi menjelaskan, sebenarnya penggunaan identitas sebagai bagian dari perjuangan politik sudah berlangsung sangat lama. Bahkan, berhubungan dengan pembentukan modern state. Termasuk ketika Indonesia pertama kali didirikan, pada dasarnya juga menggunakan political identity, yakni nationalism dan etno nationalism.
Hanya saja, kata Wawan, penggunaan politik identitas pada saat elektoral seperti saat ini nuansanya sangat berbeda dengan dulu ketika awal kemerdekaan.
‘Kalau dulu, politik identitas dipakai sebagai alat perjuangan. Sekarang, politik identitas digunakan sebagai alat untuk mencari dan merebut kekuasaan. Ini yang membahayakan,” tegas Wawan dalam Diskusi Publik tentang politik identitas, sekaligus peluncuran kantor The Conversation Indonesia, di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, pada 11 Mei 2023.
Menurut Wawan, dalam konteks politik elektoral, pola yang digunakan adalah single majoritarian. Artinya, siapa pun yang memenangkan 50 persen plus satu suara, maka dia akan memiliki legitimasi untuk menjadi pemimpin politik. Dalam situasi seperti ini, penggunaan politik indentitas sangat critical karena selisih suara cukup sedikit.
“Politik identitas nampaknya masih akan dipakai sebagai sebuah skenario atau strategi,” anggap Dekan Fisipol UGM ini
Namun, mereka akan melihat situasi untuk mengaktifkan strategi tersebut.
Chief Strategy Officer Profetic, Syafiq Pontoh memprediksi bahwa pengusung politik identitas adalah mereka yang merasa bahwa politik identitas itu berhasil.
“Mungkin memang ada yang terpapar tapi relatif tidak banyak karena sekarang eranya niche,” ucap Syafiq.
Ini terjadi, lanjut Syafiq karena ada perubahan perilaku konsumsi informasi dari pre dan post Covid-19. Selama masa pandemi, masyarakat dipaksa memanfaatkan teknologi ini sehingga terbentuk generasi search. Mereka yang mencari informasi tidak bisa lagi didoktrin.
Sedangkan terkait arah kampanye, berdasarkan pengamatannya, sekarang lebih cenderung pada konten-konten yang inspirasional, bukan konten yang sifatnya konflik atau pun kontroversial. Salah satunya, kanal youtube salah satu pejabat publik DPRD di Jawa Barat yang sebelumnya menjabat bupati yang kini dinilai sebagai politisi yang paling berhasil memanfaatkan teknologi, dengan konten yang inspirasional dan monetasinya juga luar biasa.
“Silakan kalau masih ingin mengusung politik identitas tapi memang sudah ingin berada di ceruk yang tidak laku,” sambungnya.
Meski demikian, pihaknya juga setuju bahwa semua kandidat pasti akan menyiapkan strategi politik identitas.
Sedangkan Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi justru berpendapat bahwa saat ini, penggunaan politik identitas dengan penyebutan kadrun-cebong masih sangat tinggi di media sosial.
“Saya rasa, itu memang sengaja dipertahankan oleh para buzzer karena selama ini sudah terbukti untuk memisahkan publik,” kata Fahmi.
Jadi, sebut Fahmi, politik identitas masih banyak dipakai dalam konteks negatif untuk menyerang lawan. Namun, pihaknya juga sepakat bahwa politik identitas tidak akan laku untuk mempromosikan calonnya sendiri sebab itu justru akan mempersempit ruangnya.
“Sebagai contoh seorang calon didukung oleh kelompok tertentu, maka secara otomatis persepsi politik identitas yang negatif akan menempel pada calon tersebut,” sambung Fahmi.
Pihaknya menyampaikan, para Parpol dan timses justru lebih banyak masuk ke kelompok-kelompok yang tidak lagi membahas soal perbedaan identitas, melainkan menyatukan. Misalnya, kelompok pecinta olah raga, hobi, dan UMKM. Mereka tidak berbicara soal politik maupun identitas tapi mereka berbicara di dunia itu sehingga nanti terbangun persepsi secara pelan-pelan untuk diarahkan.
“Ini merupakan cara yang cerdas karena mereka masuk lewat gagasan atau program yang suatu saat tinggal dibelokkan,” imbuh Fahmi.
Model seperti itu, menurut Fahmi, perlu didorong untuk dipakai, karena publik tidak lagi dipisahkan dengan identitas-identitas tertentu tapi mereka memang mempunyai skill dan benar-benar memberikan manfaat, dalam bentuk support terhadap kelompok-kelompok niche tersebut.
Sementara, Dosen Hubungan Internasional UII, Rizki Dian Nursita menambahkan, secara global, tren penggunaan politik identitas cenderung menurun, kecuali yang berkaitan dengan naming dan labeling, seperti penyebutan Kampret – Kadrun – Cebong. Itu lantaran di ada proses framing di media untuk menanamkan kata-kata singkat yang mudah diingat masyarakat sehingga dengan kata-kata itu, masyarakat jadi memiliki persepsi tertentu. termasuk hal-hal jenaka yang mudah diingat.
“Sekarang kalau kita buka medsos, ada kata-kata IQ sekolam, kadal gurun, atau kalau bicara soal mobil listrik ya sudah naik unta saja,” sebutnya.
Pada kesempatan tersebut, Fathul Wahid selaku Rektor UII Yogyakarta menyampaikan bahwa temuan karya ilmiah yang menyinggung isu politik identitas dan terindeks di Google Scholar mengalami peningkatan seiring berjalannya waktu. Jika pada tahun 2000 hanya satu karya, maka di tahun 2022 terdapat 1.250 karya ilmiah
“Temuan ini paling tidak melacak sejak kapan isu politik identitas mulai mewarnai perhelatan politik di Indonesia,” ungkapnya.
Ceo The Conversation Indonesia, Prodita Kusuma Sabarini berharap, di tahun politik ini, para akademisi di Indonesia tidak hanya mengangkat isu soal ketokohan, tapi juga menyangkut isu-isu strategis yang penting diketahui publik dan berdampak pada kehidupan masyarakat, seperti, hak-hak sipil, kebebasan berpendapat, serta isu-isu sosial yang terkadang kurang terdengar. (Rep-01)