Tanah Dijual Tanpa Izin, Ngadul ingin Cari Keadilan

Warga Kota Yogyakarta, Ngadul (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Usia renta tak membuat Ngadul Bin Djojowintono lupa pada satu peristiwa sekitar 45 tahun silam. Ketika itu, dirinya membeli tanah milik keluarga istrinya seluas 30×60 meter, di Desa Bedilan, Marga Belitang, Kecamatan Belitang, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatera Selatan (Sumsel).

“Ibu mertua meminta agar saya membeli tanah milik kakak ipar. Kemudian saya beli dengan harga Rp 200 ribu. Itu pada tahun 1978,” ungkap Ngadul kepada kabarkota.com, saat ditemui di kediamannya di Yogyakarta, pada 27 Juni 2022.

Namun, pada saat hendak dibayar, kakak iparnya meminta agar tanah tersebut dibeli dengan harga Rp 400 ribu. Ngadul yang saat itu bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) yang ditugaskan di Palembang, menyanggupi permintaan kakak iparnya tersebut.

Namun transaksi jual-beli tanah antarkeluarga tersebut tidak dicatatkan di notaris, melainkan hanya dengan Surat Keterangan Jual Beli Tanah Sawah
antara M. Komar bin Alim Mustomo (penjual) dengan Ngadul bin Djojowintono (pembeli) yang disaksikan oleh tiga warga sekitar, serta pihak kelurahan setempat.

Dalam Surat Keterangan Jual Beli itu diterangkan bahwa telah terjadi transaksi jual beli tanah (memindahkan hak usahanya) berupa sebidang tanah pekarangan yang terletak di Desa Bedilan dengan ukuran 60x30m atau luas 18 perpil, dengan harga Rp 200 ribu, pada tanggal 26 Juli 1978. Sedangkan dalam kwitansi bermaterai yang ditandatangani penjual, tertera, uang yang dibayarkan Ngadul sebesar Rp 400 ribu.

Permasalahan muncul sekitar tahun 2013, ketika Ngadul dan keluarganya telah pindah ke Yogyakarta. Ia mendapatkan kabar bahwa sebagian dari tanah yang ia beli telah dijual oleh adik iparnya yang bungsu, yang selama ini menempati pekarangan tersebut. Ia menyebut bahwa sepertiga tanahnya itu dijual seharga Rp 237 juta. Selain itu, sebagian tanah lainnya juga dijual seharga Rp 40 juta, dan uang diserahkan kepada istrinya.

Ternyata tanpa sepengetahuannya, lanjut Ngadul, tanah pekarangan yang telah ia beli itu telah disertifikatkan atas nama adik-adik iparnya, setelah ibu mertuanya meninggal. Padahal, di tahun 2002, tanah itu masih menjadi hak miliknya.

“Salah saya adalah tanah tersebut belum saya sertifikatkan atas nama saya, sampai kemudian saya pindah tugas ke Pulau Jawa,” sesalnya.

Kini, Ngadul dan keluarganya berharap, hak atas tanah yang telah ia beli itu kembali menjadi miliknya.

“Saya tidak ikhlas, karena itu hasil jerih payah saya bekerja dari jam 5 pagi – jam 2 malam, atau jam 4 pagi sampai jam 1 malam,” katanya.

Hanya saja, usia yang semakin renta membatasi aktivitas Ngadul. Termasuk jika harus datang ke OKU untuk mengurus persoalan tersebut.

“Saya kalau diminta ke sana sudah tidak sanggup,” tegasnya.

Untuk itu, ia berharap agar anak-anaknya bisa menyelesaikan permasalahan tersebut.

“Tanah itu yang penting diganti,” sambungnya.

Salah satu anak Ngadul, Sigit mengklaim, pihaknya masih menyimpan Surat Keterangan Jual Beli Tanah Sawah dan kwitansi bermaterai milik ayahnya.

“Untuk langkah pertama, kami akan melakukan mediasi,” katanya.

Jika upaya mediasi tidak berhasil, kata Sigit, maka tidak menutup kemungkinan pihaknya akan menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Ketua KAI: Dokumen-dokumen Bawah Tangan Bisa Diklaim

Menanggapi persoalan tersebut, Ketua Kongres Advokat Indonesia (KAI) DIY, Feryan Harto Nugroho menjelaskan bahwa dokumen-dokumen bawah tangan yang tidak dikeluarkan oleh notaris, dalam hukum perdata bisa diklaim, meskipun kekuatannya tidak sekuat dokumen yang dibuat oleh notaris.

“Meskipun jual beli, kalau tidak dibuatkan oleh Akta Jual Beli oleh notaris atau pejabat berwenang, maka termasuk bawah tangan,” jelas Ryan kepada kabarkota.com, Selasa (28/6/2022).

Meskipun sudah dipindah-tangankan, menurut Ryan, orang yang berhak bisa mengambil kembali haknya selama dia memiliki alat bukti, termasuk dokumen jual beli.

“Kalau ada bukti itu bisa, tapi harus tetap dibuktikan keotentikannya, melalui proses di pengadilan,” tegasnya.

Ryan mengaku, pihaknya sering menangani kasus serupa. Hanya saja, kendalanya hampir selalu di alat bukti.

“Kekuatan pembuktian harus besar, tidak bisa asal ceritanya saja,” ucap Ryan lagi.

Lebih lanjut Ryan menambahkan dalam proses pengadilan hukum perdata penggugat harus selalu hadir, baik principal penggugat langsung atau kuasa hukumnya. Namun penggugat principal yang sudah memberikan kuasa kepada advokat sebagai kuasa hukumnya setidaknya harus hadir 2x di sidang perdana dan mediasi. Selanjutnya hanya Kuasa hukumnya yang wajib hadir.

“Penggugat principal bisa tidak hadir tapi harus memberi kuasa kepada Advokat sebagai kuasa hukumnya,” katanya. (Rep-01)

Pos terkait