Tantangan Caleg Perempuan di tengah “Budaya” Politik Uang

Seminar “Perempuan dalam Pusaran Pemilu anti Politik Identitas dan Politik Uang, di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Kamis (16/5/2019). (dok. kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Jumlah Calon Anggota Legislatif (caleg), mulai dari tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota mencapai 200-an ribu orang. Di antara mereka ada perempuan-perempuan yang turut ambil bagian. Sementara, jumlah yang terpilih kurang dari 10%.

Bacaan Lainnya

Kondisi tersebut, menurut Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM, Amalinda Savarani, membuat persaingan antarcaleg bahkan di internal partai politik (parpol) menjadi sangat ketat. Akibatnya, hanya caleg yang memiliki sumber daya kuat yang bisa menang.

Linda mengungkapkan, kondisi itu menjadi salah satu tantangan dalam meningkatkan keterwakilan politisi perempuan di parlemen. Bahkan, dalam kurun waktu 2004 – 2019, terjadi penurunan trend perwakilan perempuan di parlemen nasional.

“Parpol mencalonkan perempuan dengan tujuan agar mereka menang… Tapi masalahanya, parpol tidak punya urusan dalam hal mengurusi logistik caleg. Akibatnya, kompetisi antarcaleg habis-habisan atau terbuka di internal parpol. Ini inkonstitutional problem,” kata Linda dalam Seminar “Perempuan dalam Pusaran Pemilu anti Politik Identitas dan Politik Uang, di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Kamis (16/5/2019).

Hal tersebut juga dibenarkan oleh salah satu caleg perempuan dari DIY, Anggia Puji Aryatie. Perempuan 39 tahun ini mengatakan, dirinya mulai aktif berkampanye untuk memperebutkan kursi wakil rakyat di Senayan, sejak awal bulan November 2018 lalu.

“Ketika saya turun (bertemu masyarakat), yang selalu ditanyakan, besok mau ngasih apa mbak? besok mau mengikat pakai apa mbak?” ungkap caleg yang juga penyandang disabilitas ini.

Anggo mengaku, awalnya ia tak memahami maksud pertanyaan tersebut. Namun, pada akhirnya dirinya paham bahwa yang mereka maksud terkait dengan praktik-praktik politik uang (money politic).

Meski tak berhasil lolos ke senayan karena perolehan suaranya baru mencapai 8 ribuan, namun Anggia menyatakan kebanggaannya karena bisa membuktikan bahwa dirinya bisa mendapatkan dukungan dari masyarakat, tanpa politik uang.

Sementara itu, inisiator Desa Anti Politik Uang (APU) Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, DIY, Wasingatu Zakiyah menjelaskan, kaitannya dengan politik uang memang sudah ada sejak dulu. Sasarannya pun, bukan lagi orang per orang melainkan kelompok. Di Desa Sardonoharjo sendiri, dulunya banyak perempuan yang menjadi pelaku “penyebar” politik uang

Hanya saja, sejak Desa APU diluncurkan jelang Pemillihan Umum (Pemilu) 2019, sekarang praktik-praktik kecurangan tersebut mulai berkurang drastis. Bahkan, para perempuan juga tak mau lagi terlibat dalam politik uang lagi.

Zaki menambahkan, sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.6 Tahun 2014, desa mendapatkan kewenangan untuk melakukan pembinaan kemasyarakataj, khususnya pendidikan politik kepada warganya untuk menghindari politik uang.

“Melalui desa (APU) ini, pemerintah desa berharap dapat memberikan pendidikan tentang demokrasi dan politik kepada warganya, juga meningkatkan kesadaran bagaimana menjadi pemilih cerdas,” jelas Zaki.

Selain itu, kata Ketua Dewan Konstituante IDEA Yogyakarta ini, peran dan posisi keluarga, terutama peran perempuan di dalam keluarga, dianggap penting untuk menangkal politik uang yang telah membudaya di masyarakat desa. Mengingat, pada umumnya praktik politik uang dilakukan oleh peserta Pemilu atau orang terdekat, terurama dalam forum-forum kecil di desa, seperti pertemuan PKK, rapat RT, dan rapat RW. (Rep-02)

Pos terkait