Ilustrasi (dok. pexels)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Suara penolakan terus didengungkan sejak pemerintah mengumumkan kenaikan harga atas kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), pada 3 September kemarin.
Para aktivis peduli pekerja/buruh, dan masyarakat sipil di Yogyakarta, selain menyampaikan pernyataan sikap penolakan, sebagian dari mereka berencana menggelar aksi unjuk rasa, pekan depan
Sejumlah aktivis yang menamakan diri Aliansi Rakyat Peduli (ARP) Yogyakarta akan menggelar aksi unjuk rasa pada 7- 8 September mendatang.
Salah satu aktivis ARP, Dani Eko Wiyono menilai, kenaikan harga BBM akan memengaruhi kenaikan harga-harga bahan lainnya sehingga mengakibatkan perekonomian rakyat semakit terhimpit. Terlebih, saat ini perekonomian masyarakat baru beranjak bangkit, setelah dua tahun dihantam pandemi Covid-19.
“Betapa sulitnya hidup kaum buruh, karena mereka harus berjibaku mengais rezeki, di tengah impitan ekonomi. Ketika harga BBM naik namun UMK mereka tetap, maka itu tidak sepadan,” kata Dani dalam siaran pers yang diterima kabarkota.com, Minggu (4/9/2022).
Aksi pertama pada 7 September mendatang, lanjut Dani, akan dipusatkan di Bundaran UGM, mulai pukul 14.00 WIB. Sedangkan aksi lanjutan pada 8 September, rencananya digelar di DPRD DIY dan Kawasan Titik Nol Km Yogyakarta.
Dalam aksi tersebut, mereka akan menyerukan tiga tuntutan utama, yakni menolak kenaikan harga BBM, turunkan harga bahan kebutuhan pokok, dan naikkan upah buruh sebesar 25 persen.
Sementara dihubungi terpisah, Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kota Yogyakarta, Denta Julian Sukma mengungkapkan, pihaknya juga berencana untuk menggelar aksi unjuk rasa, jika tuntutan pembatalan kenaikan harga BBM tak diindahkan pemerintah.
“Rencana unjuk rasa memang ada, tapi kami belum menentukan waktunya, karena masih melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan amggota serikat pekerja yang lain,” kata Denta.
Pihaknya juga berpendapat bahwa kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga sembako yang itu jelas memberatkan masyarakat, termasuk buruh/pekerja di Yogyakarta.
Sedangkan terkait rencana pemberian Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi para buruh/pekerja sebesar Rp 600 ribu sebagai kompensasi atas kenaikan harga tersebut, menurutnya tidak akan mencukupi untuk mengatasi dampak kenaikan harga-harga.
“Sebenarnya pemberian BSU merupakan kebijakan yang salah. Seharusnya Pemerintah bukan memberikan bantuan, melainkan harus mampu mengendalikan harga. Buat apa bantuan ketika daya beli tetap tidak ada sama sekali?” tegasnya.
Selain itu, pihaknya juga meminta agar pemerintah memperbaiki nilai Upah yang diterima pekerja, khususnya di DIY yang selama ini masih rendah.
“Buruh/pekerja di sini sudah rendah upahnya, tidak mampu menjangkau kebutuhan hidup yang layak pula. Ini ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga lagi. Sudah menderita ditambah sengsara,” sesalnya. (Rep-01)