Aksi Unjuk Rasa ARB Yogyakarta, di Jalan Gejayan Yogyakarta, Jumat (14/8/20200. (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Rencana pemerintah pusat untuk mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menuai penolakan dari banyak pihak, termasuk di DIY.
Namun, setiap kelompok rupanya memiliki cara masing-masig untuk menyuarakan penolakan mereka atas rencana pemerintah yang dinilai tak pro rakyat tersebut. Hal tersebut sebagaimana perbedaan aksi yang dilakukan Forum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) DIY, dan Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) Yogyakarta, pada Jumat (14/8/2020)
Forum BEM DIY Datangi Pemda, Kecewa tak Ditemui Para Pengambil Kebijakan
Dari pantauan kabarkota.com, puluhan mahasiswa dari perwakilan BEM sejumlah Perguruan Tinggi (PT) di DIY mendatangi Kompleks Kepatihan Yogyakarta. Mereka berharap bisa bertemu dan berdialog dengan para pengambil kebijakan terkait untuk menyampaikan aspirasi mereka terkait pernyataan sikap atas rencana pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Namun, Presiden Mahasiswa (Presma) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ahmad Rifai Muhtamin mengungkapkan kekecewaannya di forum karena audiensi yang mereka harapkan tak sesuai harapan.
Ahmad Rifai Muhtamin, Presma UIN Suka Yogyakarta
“Hari ini sebenarnya kami mengharapkan dialog, audiensi dan ada keputusan. Tapi ternyata yang dihadirkan adalah orang-orang yang tidak bisa mengambil keputusan. Hari ini hanya akan berakhir dengan bapak mendengarkan,” sesal Ahmad.
Padahal menurutnya, jika sekedar mendengarkan, maka semestinya Pemda sudah membaca dari berbagai media, dan aksi-aksi penolakan atas Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang telah digelar berulang kali sebelumnya.
Pihaknya berharap, Pemda DIY bisa menindaklanjuti kesepakatan yang telah dibuat Forum BEM Nusantara dengan Wakil Ketua DPRD DIY, pada 15 Juli 2020 lalu yang pada intinya mereka sepakat dengan penolakan tersebut.
“Mohon maaf cara kami menyampaikan seperti ini, karena berulang kali kami menyampaikan, tapi hasilnya hanya seperti ini. Kalau pun ada hasil ternyata itu bahasanya diplomatis, sementara kami diajarkan berpolitik praktis,” tegasnya.
Pada kesempatan tersebut, Forum BEM DIY ditemui oleh Kepala Kesbangpol DIY, Kepala Disnakertrans DIY, dan Kepala LL Dikti Wilayah V DIY.
Menanggapi kekecewaan mahasiswa tersebut, Kepala Kesbangpol DIY, Agung Supriyanto berdalih bahwa siapapun yang menemui audiensi mahasiswa di Pemda, pada dasarnya tidak bisa berbuat dalam pengambilan keputusan terkait tuntutan mereka. Pasalnya, kewenangan Pemda hanya sebatas menyampaikan aspirasi melalui instansi-instansi terkait untuk diteruskan ke pemerintah pusat.
“Harapan kami ada yang disampaikan secara tertulis. Selain itu mereka juga konsekuen bahwa apa yang disampaikan sesuai yang tertulis saja. Misalnya, penyampaian pernyataan sikap hari ini dan dicantumkan permohonan agar disampaikan ke pemerintah pusat supaya menjadi pertimbangan,” ucap Agung kepada wartawan usai audiensi.
Di akhir audiensi kali ini, Pancar Setia Budi Ilham Mukaromah selaku Wakil Ketua BEM DIY membacakan tujuh poin tuntutan. Diantaranya, menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja; menolak sentralisasi kekuasaan melalui konsep Omnibus Law; menolak penyederhanaan regulasi perizinan Amdal; menolak sentralisasi sistem pengupahan perburuham; menolak sektor pendidikan masuk dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja; serta menuntut pemerintah memperbaiki kelembagaan di tingkat Nasional maupun daerah sebagaimana amanat UUD 1945.
“Semoga apa yang menjadi tuntutan dan aspirasi kami dapat didengarkan dan diimplementasikan oleh intansi-instansi terkait,” harapnya.
ARB Yogyakarta Gelar Aksi ala Parlemen Jalanan, Diwarnai Kericuhan
Sementara itu, ARB Yogyakarta lebih memilik menggelar unjuk rasa di Jalan Gejayan dan berlanjut di pertigaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Humas ARB Yogyakarta, Lusi mengaku, aksi turun ke jalan sengaja dipilih sebagai alternatif penyampaian asporasi, ketika jalur pendekatan melalui birokrasi, hasilnya tak dihiraukan.
“Kami hanya diterima dan didengarkan aspirasinya, tapi apa tindaklanjutnya? Hanya nol, kosong!” ucapnya.
Menurut Lusi, dengan berkaca dari pengalaman tersebut, maka aksi ARB ini menjadi alternatif berpolitik yang selama ini tak disediakan oleh Negara, karena ruang-ruang politik di Negara ini dibatasi dengan kotak-kotak Pemilu. Sedangkan melalui politik di jalanan, semua masyarakat yang ingin terlibat, maka mereka juga dapat terlibat.
Dalam aksi kali ini, ada tujuh poin yang disuarakan ARB, diantaranya gagalkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja; berikan jaminan kesehatan, ketersediaan pangaj, pekerjaan dan upah layak saat pandemi; dan gratiskan UKT/SPP dua semester selama pandemi.
Selain itu, ARB juga menyerukan solidaritas untuk menolak tambang pasir besi di Kulon Progo; menolak rencana pembangunan Bendungan Bener; serta hentikan semua proyek infrastruktur yang menggusur penghidupan warga.
Setelah menggelar aksi di Jalan Gejayan, para demonstran bergerak menuju pertigaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan sempat terjadi kericuhan dengan sekelompok warga yang hendak membubarkan aksi mereka, pada Jumat malam.
Kapolres Sleman, Anton Firmanto membenarkan adanya kericuhan tersebut. Namun pihaknya mengklaim dapat mengatasi permasalaan tersebut. (Rep-01)