TPS 3R Karangmiri: Proyek dengan Danais yang Bikin Warga Terdampak Miris

Aksi Damai dan Konser Keadilan Warga Jagalan Menolak Pembangunan TPS 3R Karangmiri, pada 12 Juni 2024. (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Puluhan warga kampung yang berdekatan dengan lokasi pembangunan Tempat Pengelolaan Sampah Reduce – Reuse – Recycle (TPS 3R) Karangmiri Yogyakarta berkumpul di Cakruk Bok Dhekem Padukuhan Sayangan, Kalurahan Jagalan, Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Rabu (12/6/2024) sore.

Mereka yang mayoritas berpakaian hitam, mulai dari anak-anak hingga Lanjut Usia (Lansia) berkerumun di sekitar panggung sederhana yang didirikan dalam rangka Aksi Damai dan Konser Keadilan bertajuk “Tutup TPS 3R Karangmiri, Kami ingin Kehidupan Sehat dan Berkeadilan”. Di bagian bawah panggung terbentang spanduk putih panjang bertuliskan: Seluruh Warga Menolak Keras Aktivitas TPS 3R.

Beberapa perempuan yang hadir juga membawa poster-poster hitam putih yang seluruh isinya bernada protes atas pembangunan dan rencana pengoperasian TPS 3R milik Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta tersebut.

Tokoh masyarakat Jagalan, Zidni Nuri menyampaikan bahwa warganya miris dengan keberadaan TPS 3R Karangmiri. Mereka merasa tidak dimanusiakan karena pembangunan tersebut tanpa sosialisasi sama sekali ke warga Jagalan.

“Kami menuntut penutupan TPS 3R Karangmiri tanpa kompromi!” tegas Zidni saat membacakan pernyataan sikap warganya.

Tokoh masyarakat Jagalan, Zidni Nuri. (dok. kabarkota.com)

Koordinator Lapangan (Korlap) Aksi Damai dan Konser Keadilan, Andri Triyanto juga menilai, keberadaan TPS 3R yang berdekatan dengan pemukiman padat penduduk di perbatasan wilayah Kota Yogyakarta – Kabupaten Bantul, dan tepi sungai Gajah Wong ini akan lebih banyak membawa keburukan dibandingkan kebaikannya sehingga warga mendesak agar TPS 3R yang baru dibangun tidak dioperasikan.

“Kalau pun memang sayang dengan bangunannya, silakan dialihfungsikan untuk Ruang Terbuka Hijau atau pun tempat olah raga,” katanya.

Keberatan atas proyek pembangunan TPS 3R Karangmiri tidak hanya disuarakan warga Jagalan, tetapi juga warga Kampung Mrican, Kelurahan Giwangan, Kemantren Umbulharjo, Kota Yogyakarta yang berdekatan dengan lokasi pembangunan. Salah satu warga Kampung Mrican, Muklas mengaku khawatir, kesehatan warga akan direnggut karena polusi udara dan pendengaran akibat pengoperasian TPS 3R Karangmiri.

“Kami semua sayang dengan bangunan mahal tersebut, tapi kalau madaratnya lebih banyak maka perlu direvisi, dibenahi atau bahkan ditutup,” ucapnya.

Tri Riyadi, Warga Mrican lainnya, yang rumahnya juga bersebelahan lokasi TPS 3R Karangmiri menyatakan dukungannya atas aksi yang diinisiasi oleh warga Jagalan tersebut

“Apa yang kalian rasakan tidak enak, saya lebih tidak enak lagi karena jarak rumah saya hanya 2 meter dengan TPS 3R Karangmiri,” ungkapnya.

Selain itu, kata Tri, sejumlah warga Mrican yang berdekatan dengan TPS 3R memiliki usaha kos-kosan dan bimbingan belajar sehingga mengancam keberlangsungan usaha mereka karena bau tidak sedap dan kebisingan yang timbulkan dari operasional TPS 3R itu nantinya.

“Apakah Anda pernah mendengar bahwa warga Mrican menyetujui TPS 3R? Itu Hoaks,” tegasnya.

Bahkan, kata Tri, warga Mrican yang tergabung dalam Forum Paguyuban Warga Mrican Terimbas sudah menyatakan penolakan itu sejak 2019. Meskipun ketika itu, tahapan proses yang dilalui relatif bagus. Hanya saja, untuk pembangunan TPS 3R Karangmiri di tahun 2024 ini prosesnya sangat singkat, hanya sosialisasi kepada warga, menyampaikan anggaran, dan langsung dibangun. Sementara pihak yang memberikan tanda-tangan persetujuan atas pembangunan tersebut tidak jelas.

Sejak TPS 3R Karangmiri dibangun, Tri mengaku tidak mendapatkan hasil kajian Analisis Dampak Lingkungan (Amdal). Untuk itu pihaknya meminta agar DLH Kota Yogyakarta mengkaji ulang pembangunan TPS 3R Karangmiri.

Kepala DLH Kota Yogyakarta, Sugeng Darmanto. (dok. kabarkota.com)

Menanggapi berbagai protes tersebut, Kepala DLH Kota Yogyakarta, Sugeng Darmanto menyatakan bahwa pihaknya akan berbicara hal tersebut pada tataran yang lebih lanjut.

“Akan ada proses berikutnya,” ucapnya.

TPS 3R Karangmiri: Proyek Pemkot dengan Pagu Danais Rp 4,1 Miliar

TPS 3R Karangmiri adalah satu dari tiga TPS 3R yang dibangun Pemkot Yogyakarta dari pembiayaan Dana Keistimewaan (Danais) DIY. Dua TPS 3R lainnya yakni berlokasi Nitikan dan Kranon.

Dilansir dari laman resmi Pemda DIY, pasca penutupan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan pada April 2024 lalu, PemkotYogyakarta melakukan disentralisasi pengelolaan sampah secara mandiri. Salah satunya, dengan membangun tiga TPS 3R yang dibiayai Danais 2024, dengan nilai kontrak Rp 2,4 Miliar untuk TPS 2R Kranon dan Pagu Rp 4,1 Miliar untuk pembangunan di Karangmiri. Di samping itu, masing-masing TPS 3R juga dilengkapi dengan satu mesin modul Refused Derived Fuel (RDF) senilai Rp 2,6 Miliar yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kepala Bidang (Kabid) Pengelolaan Persampahan DLH Kota Yogyakarta, Ahmad Haryoko menjelaskan, dengan menggunakan teknologi RDF yang bisa menghasilkan bahan bakar alternatif pengganti batu bara yang dibutuhkan pabrik, tiga TPS 3R tersebut ditargetkan bisa mengolah sampah sedikitnya 120 ton per hari. Targetnya adalah zero residu sampah pasca pengolahan. Nantinya, sampah segar yang diolah mesin, sebanyak 60 persen menjadi RDF, dan 40 persen diolah lagi menjadi bentuk lain, seperti pupuk kompos dari sampah organik.

Pengamat Lingkungan: RDF sisakan Risiko Turunan

Ditemui terpisah, Pengamat Lingkungan dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno menilai, pengelolaan sampah melalui teknologi RDF justru menyisakan risiko turunan. Itu lantaran RDF hanya fokus pada pengelolaan sampah anorganik, melalui Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) untuk menghasilkan energi baru menjadi RDF. Sedangkan sampah organik belum terkelola secara maksimal sehingga diperlukan teknologi tambahan untuk mengelolanya.

Spanduk-spanduk penolakan yang dibentangkan warga Jagalan pada 12 Juni 2024. (dok. kabarkota.com)

Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) UPN Veteran Yogyakarta ini menyebut, teknologi RDF masih terbatas dan belum bisa mengatasi turunan masalah sampah. Meskipun tak dipungkiri bahwa RDF cukup membantu dalam mengurangi volume sampah.

DPRD Kota Yogya Godog Perubahan Perda Pengelolaan Sampah

Di tengah ramainya penolakan atas pembangunan TPS 3R, DPRD Kota Yogyakarta menggodog Raperda tentang Perubahan Kedua atas Perda Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah yang merupakan inisiasi dari Pemkot Yogyakarta.

Putut dari Bidang Ekonomi dan Kerjasama Sekretariat Daerah (Setda) Pemkot Yogyakarta berdalih, pihaknya sengaja mengusulkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perubahan Kedua Pengelolaan Sampah di Kota Yogyakarta karena ingin mendorong peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) agar masuk dalam pengelolaan sampah yang ternyata bisa memberikan penghasilan tambahan. Sekaligus membantu pemerintah dalam mengatasi masalah sampah.

“Kami ingin memberi peluang penugasan kepada BUMD supaya mendapatkan penghasilan,” ungkap Putut dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Raperda Perubahan Pengelolaan Sampah, di DPRD Kota Yogyakarta pada 7 Juni 2024.

Penugasan tersebut disisipkan dengan dua pasal di antara pasal 36 dan 37, yakni pasal 36A dan 36B. Pada pasal 36A menyebutkan bahwa Pemda dapat memberikan penugasan kepada BUMD dalam pengelolaan sampah yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Sedangkan pasal 36B diantaranya mengatur tentang penugasan yang dimaksud meliputi penyediaan atau pembangunan TPS, TPS 3R, TPST atau pun TPA, serta sarana dan prasarana pendukungnya; pengelolaan sampah di tempat-tempat tersebut, serta pengelolaan produk olahan sampah lainnya. Dalam hal ini, Pemda dapat memberikan Biaya Layanan Pengelolaan Sampah dalam rangka kerjasama, kemitraan, atau penugasan pengelolaan sampah.

Dengan adanya keterlibatan BUMD ini nantinya, pengelolaan sampah tidak lagi diserahkan sektor swasta sepenuhnya. Meskipun pihaknya menyadari bahwa berdasarkan pengalaman sejumlah daerah di luar Yogyakarta, banyak pengelola sampah yang terkesan tidak mau diatur dengan regulasi dari pemerintah.

Pemerhati Sampah di Yogyakarta, Timothy Apriyanto yang turut hadir dalam RDPU kali ini juga menyatakan dukungannya, agar DPRD Kota Yogyakarta segera membahas Raperda tersebut sehingga BUMD yang terlibat dalam pengelolaan sampah dapat segera memiliki payung hukum yang jelas.

Timothy berharap, dalam pembahasan Raperdi ini, DPRD dan Pemkot Yogyakarta juga memerhatikan persoalan sampah yang merupakan bagian dari hak warga negara untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik.
urgensi.

RDPU Raperda Perubahan Pengelolaan Sampah, di DPRD Kota Yogyakarta pada 7 Juni 2024. (dok. kabarkota.com)

“Persoalan sampah di Yogyakarta ini menurut saya bukan sekadar soal teknologi dan pendanaan, tetapi juga ada hal yang tidak dipahami bersama sehingga masalahnya tidak selesai,” anggapnya.

Oleh karenanya, anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DIY ini menyaran agar Pemda menyiapkan beberapa skema pengelolan sampah itu nantinya. Termasuk dengan melibatkan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) maupun BUMD.

Lebih lanjut Timothy menekankan perlunya Pemda memikirkan tentang keberlanjutan mata pencaharian para penarik gerobak sampah. Misalnya dengan memasukkan mereka dalam ekosistem rantai pasok dengan pemberian upah yang jika memungkinan besarannya sesuai Upah Minimum Kota (UMK).

Sementara itu, aktivis pendorong gerobak sampah dari Depo Mandala Krida, Ratman justru berpendapat bahwa dalam pengelolaan sampah tidak perlu melibatkan investor dari luar. Menurutnya, hal paling efektif yang bisa dilakukan untuk menangani masalah penumpukan sampah di Yogyakarta adalah pemusnahan sampah ndengan dipress supaya airnya keluar, sebelum dimasukkan ke mesin pengering dan dibakar sehingga bisa menjadi barang baru, seperti bahan baku untuk pembuatan batako.

Hal senada juga disampaikan Siswoyo, pendorong gerobak sampah Depo Mandala yang mengaku prihatin dengan permasalahan penanganan sampah yang tidak pernah selesai, padahal volume sampah di Kota Yogyakarta kian menumpuk.

“Usul saya, sampah dilebur atau dibakar dengan teknologi saja. Dalam 24 jam seharusnya selesai,” pintanya.

Terkait nasib para pendorong gerobak, kata Siswoyo, hingga saat ini, para pendorong gerobak hanya diberi jatah membuang sampah 1 kali seminggu sehingga banyak pendorong gerobak yang tidak bisa bekerja mencari sampah lagi.

“Kerja DLH (Dinas Lingkungan Hidup) amburadul. Bahkan depo-depo sampah ditutup sehingga kami menjadi korban,” sesalnya.

Ketua Paguyuban Pendorong Gerobak Sampah Depo Pengok, Agus juga mengakui hal yang sama. Bahkan, anggotanya kini semain berkurang karena ketidakjelasana jadwal pembuangan sampah. Sementara, banyak oknum pembuang sampah mandiri yang bisa membuang sampah setiap saat. Padahal, satu pendorong gerobak sampah bisa mengurangi antara 50 – 100 orang pembuang sampah mandiri di Depo Pengok.

Deputi Direktur WALHI DI Yogyakarta, Dimas R Perdana menganggap, dalam hal ini, pemangku kebijakan lebih berorientasi pada bisnis ketimbang public service.

“Dengan adanya raperda ini, BUMD mau diletakkan di mana? hulu, tengah atau hilir?,” tanya Dimas.

Tumpukan sampah di salah satu depo di Kota Yogyakarta (dok. kabarkota.com)

Baginya, ketiadaan lahan bukan alasan, karena pemilahan sampah bisa dilakukan warga hingga di tingkat RW. Misalnya melalui gerakan sedekah sampah yang sudah nyata dilakukan sebagian warga di Kota Yogyakarta. Ini lebih menunjukkan hasil nyata dibandingkan dengan rencana pemanfaatan teknologi yang belum jelas hasilnya.

Ketua Pansus Raperda Perubahan Pengelolaan Sampah Kota Yogyakarta, Fokki Ardiyanto menekankan bahwa ketika Raperda memberi peluang pada BUMD dalam hal bisnis pengelolaan sampah, maka jangan sampai mengurangi public service karena ini merupakan kewajiban negara. Terlebih, selama ini masyarakat juga membayar retribusi kepada pemerintah yang seharusnya uang tersebut dikembalikan dalam bentuk layanan publik yang baik.

“Ketika retribusi sampah masih ada, apakah bisa diakomodir dengan pembentukan UPT Pengelolaan sampah sehingga bisa dikelola secara mandiri oleh UPT?” ucapnya. Sebab menurutnya, pemerintah sebenarnya tidak boleh berbisnis.

“Jangan sampai setelah Raperda ini diserujui justru memindahkan tanggung-jawab negara ke swasta,” tegasnya. (Rep-01)

Pos terkait