UII Yogya ajukan Judicial Review UU KPK

Ilustrasi: Pernyataan sikap Sivitas Akademika UII Yogyakarta atas rencana revisi UU KPK, di kampus FH UII, pada 9 September 2019. (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) –
Lima civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta mengajukan permohon pengujian formil dan materiil (Judicial Review) atas Undang-Undang (UU) No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Bacaan Lainnya

Kelima pemohon yang dimaksud adalah Rektor UII, Fathul Wahid; Dekan Fakultas Hukum UII, Abdul Jamil; Direktur Pusham UII, Eko Riyadi; Direktur PSKE FH UII, Ari Wibowo; dan Dosen FH UII, Mahrus Ali.

Salah seorang kuasa hukum pemohon, Anang Zubaidy menjelaskan, permohonan pengujian formil dilakukan karena adanya cacat proses pembentukan revisi kedua atas UU KPK, jika dikaitkan dengan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).

Menurut Para pemohon, lanjut Anang, pembentukan UU KPK tidak memenuhi prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, karena tidak disertai naskah akademik dan tidak masuk prolegnas prioritas tahun 2019.

Selain itu, revisi UU KPK melanggar asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, karena ada pasal yang tidak dapat diimplementasikan, yakni salah satu calon pimpinan KPK terancam tidak dapat dilantik karena tidak memenuhi syarat umur.

“Pembentukan UU KPK juga melanggar asas partisipasi dan asas keterbukaan, karena tidak menyebarluaskan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang,” ungkap Anang kepada kabarkota.com, Kamis (14/11/2019).

Sedangkan terkait pengujian materiil, Anang menambahkan, permohonan yang diajukan menyangkut empat hal penting dan strategis berkaitan dengan KPK. Yakni, independensi, kewenangan Dewan Pengawas, status kepegawaian, dan pemberian kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan;

“Independensi KPK sangat dipengaruhi oleh status kelembagaan KPK pasca revisi UU KPK yang ditempatkan dalam rumpun eksekutif sehingga berpotensi menggiring KPK ke dalam ketidakmandirian yang pada akhirnya akan mempengaruhi kerjanya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,” papar Dosen Hukum Tata Negara UII ini.

Ketentuan terkait independensi terdapat pada Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU KPK dan bertentangan dengan Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945;

Kewenangan Dewan Pengawas, khususnya dalam pemberian izin atas penyadapan, penggeledahan, ataupun penyitaan di dalam UU KPK berpotensi menempatkan KPK sebagai lembaga yang tidak mandiri dan memperlambat kerja pemberantasan korupsi.

Ketentuan itu terdapat pada Pasal 37B ayat (1) Huruf b, Pasal 12B, dan Pasal 47 UU KPK dan berpotensi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945;

Selanjutnya menyangkut status kepegawaian pegawai KPK pasca revisi UU KPK yang menempatkan mereka sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara (ASN) berpotensi menimbulkan loyalitas ganda serta ketidakpastian hukum.

Anang menganggap, munculnya loyalitas ganda pegawai berkaitan dengan status dan kedudukannya sebagai pegawai KPK, sekaligus bagian dari ASN. Sedangkan ketidakpastian hukum berkaitan dengan persyaratan menjadi pegawai KPK yang juga berbeda dengan persyaratan menjadi ASN. Karenanya, akan berpotensi menjadikan penyidik KPK  yang ada saat ini tidak dapat diangkat, karena tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Ketentuan menyangkut status pegawai KPK ini terdapat pada Pasal 24 dan Pasal 45a Ayat (3) Huruf a UU KPK dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945;

Sedangkan emberian kewenangan penghentian penyidikan maupun penuntutan di dalam UU KPK akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Pertaman, karena pasal 40 ayat (1) UU KPK menyebut frasa “yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun” akan menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai sejak kapan penghitungan waktu akan dimulai.

Alasan kedua, penghentian penyidikan dan penuntutan yang didasarkan pada parameter waktu (2 tahun) tidak selesainya penyidikan dan penuntutan suatu perkara berpotensi menyebabkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak konstitusional tersangka.

“Lain halnya jika yang dimaksud sebagai penghitungan penghentian penyidikan dan penuntutan adalah  sejak ditetapkannya status tersangka,” anggapnya.

Alasan penghentian penyidikan dan penuntutan yang dimuat dalam Pasal 40 ayat (1) UU KPK itu, menurut Anang bertolak belakang atau setidaknya tidak bersesuaian dengan maksud dari ketentuan Pasal 40 ayat (4) UU KPK.

Ketentuan mengenai penghentian penyidikan dan penuntutan itu terdapat pada Pasal 40 Ayat (1) UU KPK dan bertentangan Dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Pihaknya mengaku, permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) itu telah disampaikan, pada tanggal 7 November 2019.

“Setelah permohonan disampaikan, dalam waktu paling lama 14 hari sejak permohonan dimasukkan, akan ada pemberitahuan mengenai sidang pemeriksaan pendahuluan,” ucap Direktur Pusat Studi Hukum (PSH) UII ini. (Rep-01)

Pos terkait