Ilustrasi (dok. mamikos)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Sebagai kota Pelajar, Yogyakarta menjadi tujuan masyarakat dari luar daerah untuk datang menuntut ilmu. Banyaknya sekolah dan Perguruan Tinggi (PT) yang berkualitas, juga membuat para orang tua percaya untuk “menitipkan” putra-putri mereka belajar di Kota Gudeg ini.
Berdasarkan hasil Jajak Pendapat (Jakpat) Mamikos terhadap mahasiswa usia 16-25 tahun pada September 2018, sebanyak 98% dari mereka datang ke Yogyakarta dengan tujuan untuk kuliah, 66% mencari relasi, dan 63% mencari teman.
“Kota Yogyakarta juga masih menjadi magnet bagi orang luar daerah. Persepsi Yogyakarta merupakan Kota Pelajar menjadi alasan paling kuat bagi 28 persen responden, didukung dengan faktor penduduk Yogyakarta yang dikenal ramah tamahnya. Sedangkan, sebanyak 15 persen memilih Yogyakarta karena dianggap nyaman, dan sebagai miniatur Indonesia, sekaligus rumah bersama,” kata Humas Mamikos, Sri Mona dalam siaran persnya, baru-baru ini.
Di kota ini, lanjut Mona, juga terdapat kampus-kampus terbaik di Tanah Air. Itu menjadi pilihan sebanyak 14 persen responden, sementara biaya hidup di Yogyakarta yang murah dipilih responden sebanyak 10 persen.
Terkait lokasi tinggal sementara atau kos, imbuhnya, sebanyak 98% mahasiswa baru memilih lingkungan yang tak jauh dari kampus mereka, dengan jarak kurang dari 5 km – 15 km. Sementara mahasiswa yang memilih jauh dari lingkungan kampus, karena yang bersangkutan memiliki kendaraan pribadi serta ingin suasana berbeda.
Sementara ada 88% yang memilih faktor kemudahan dalam mencari tempat makan, 52% dekat dengan tempat ibadah. Sebanyak 49% memilih dekat dengan sarana dan prasarana seperti warnet dan hanya 11% memilih kos yang dekat titik atau spot untuk hang-out seperti kafe, sementara 5% sisanya memilih kos dekat mall.
“Kos-kosan yang dipilih biasanya memiliki pengawasan dari pemilik kos, dan ada pemisahan untuk kost laki-laki dan perempuan,” sebutnya. (Dok. Mamikos)
Kaitannya dengan masa depan, Jakpat itu menyebut 74% mahasiswa berharap setelah lulus langsung memilih bekerja, dan 15% melanjutkan jenjang S2. Namun hanya 3% yang ingin kembali ke kampung halaman.
Salah satu mahasiswa asal Banyuwangi, Jawa Timur, Nailatus Sukriya mengaku, sengaja datang ke Yogyakarta sejak 2011 lalu, untuk menuntut ilmu di Perguruan Tinggi.
“Menurut saya, dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya, Yogyakarta memiliki biaya hidup yang cukup murah, sehingga saya merasa cocok memilih kota ini. Apalagi Yogyakarta juga terkenal sebagai Kota Pelajar,” kata Naila kepada kabarkota.com, Rabu (10/10/2018).
Sedangkan untuk menemukan kos-kosan, Naila mengaku mendapatkan informasi dari saudaranya yang memang tinggal di Yogyakarta, sehingga tak terlalu sulit menemukan tempat tinggal sementara yang tak jauh dari kampusnya.
Hal senada juga diungkapkan mahasiswa asal Ponorogo, Jawa Timur, Brigistin yang sudah tinggal di Yogyakarta, sejak 2.5 tahun terakhir.
“Dari awal saya memang ingin kuliah di jurusab broadcasting ini, sehingga saya memilih kuliah di Yogyakarta,” ucapnya. Untuk tempat kos, Brigistin mendapatkan informasi dari temannya.
Geliat Bisnis Kos-kosan Berbasis Aplikasi dan Plus Minusnya
Banyaknya pendatang di Yogyakarta yang rata-rata dari kalangan pelajar ini, menjadi peluang bisnis kos-kosan yang menggiurkan, khususnya bagi masyarakat yang memiliki properti di sekitar kampus. Dan seiring dengan perkembangan teknologi, para pelaku bisnis kos-kosan sebagian juga sudah mulai bertransformasi dengan menawarkan jasa kos-kosan berbasis aplikasi online, seperti mamikos.
Namun dari setiap penerapan teknologi, selalu ada plus minusnya. Sosiolog dari Akar Rumput Strategic Consulting, Subkhi Ridho berpendapat bahwa maraknya bisnis kos-kosan berbasis online memang tak terhindarkan. Menurutnya, maraknya munculnya aplikasi-aplikasi kos online, dalam beberapa tahun terakhir ini awalnya baru sebatas jasa info via internet, seperti web, blog saja.
Sisi positifnya, hal tersebut makin mempermudah konsumen dalam mencari tempat kos yang diinginkan. Selain juga mampu memotong biaya transportasi dan biaya administrasi, dibandingkan saay menggunakan jasa agensi penyedia informasi kos-kosan yang masih manual.
“Konsumen cukup melakukan klik tempat yang dituju, melihat fasilitas yang disediakan, melihat gambar, dan seterusnya Hal ini tentu sangat diminati generasi Y dan Z,” kata Subkhi kepada kabarkota.com.
Namun di sisi lain, lanjut Ridho, terjadi perubahan perilaku yang mengurangi pola komunikasi interpersonal. Jika sebelumnya ada negosiasi dan dialog secara langsung dengan pemilik kos atau org yang dipercayai untuk menjaga kos maupun melalui agensi, maka sekarang hanya berbasis online dan tidak ada dialog. Akibatnya, relasi mereka menjadi sangat pragmatis, tidak ada tatap muka secara langsung, dan proses kenalan dengan para pemilik kos.
“Hal ini tentu saja kedepan akan mengabikatkan relasi antarmasyarakat akan semakin bergeser, semata pada relasi bisnis, yang menekankan pada untung rugi semata,” anggapnya.
Untuk itu, Ridho menambahkan, masyarakat perlu mengaktifkan kegiatan-kegiatan lingkungan, seperti kebersihan bersma, pos ronda, maupun arisan, sehingga proses interaksi antarwarga tetap ada. Hal tersebut penting sebagai tindakan preventif, untuk mencegah hal-hal tak diinginkan, seperti tempat kos menjadi tempat persembunyian org-orang yang tak bertanggungjawab, termasuk aktor-aktor teroris
Pemerintah, kata Ridho, juga perlu mrmbuat regulasi yang sesuai dengan maraknya kos-kosan online, sehingga tidak hanya berlaku untuk mengontrol, namun para pemilik kos juga merasa bertanggung-jawab dengan pengguna kos, tidak semata relasi bisnis yang sekedar bicara untung rugi. (Rep-03)