Ilustrasi (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Subsidi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan di DIY sepi peminat.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan Kepala Cabang BPJS Ketenagakerjaan DIY, Teguh Wiyono dalam audiensi Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) dengan Komisi D DPRD DIY, serta sejumlah pejabat OPD, pada Senin (27/11/2023).
Padahal, Teguh menyebutkan, pinjaman yang bisa digunakan oleh para peserta BPJS Ketenagakerjaan berupa Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMP), Kredit Pemilikan Rumah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (KPR BP Jamsostek) dan Pinjaman Renovasi Perumahan (PRP).
“Di Yogyakarta, baru ada 15 yang mengajukan karena kendalanya di upah mereka,” ungkap Teguh di Gedung DPRD DIY.
Salah satu anggota Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY, Aziz mengaku, dirinya pernah akan mengajukan permohonan program tersebut, namun urung karena mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebelum berkas permohonan selesai diajukan.
“Memang sebenarnya meringankan tapi upah di Yogyakarta itu rendah, sementara biaya properti sangat tinggi,” anggap Aziz.
Senada dengan aziz, Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan juga menilai bahwa rendahnya Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY menjadi kendala bagi para buruh dan pekerja untuk mengajukan KPR ke perbankan. Meskipun, ada program KPR Subsidi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Mengingat, lanjut Irsad, program subsidi KPR yang ditawarkan BPJS Ketenagakerjaan itu sifatnya sekunder atau bahkan tersier sehingga sifatnya hanya sekadar bantuan keuangan dalam bentuk subsidi. Sementara untuk bisa mengajukan KPR melalui perbankan, ada kriteria tersendiri. Termasuk pertimbangan besaran upah buruh maupun pekerja yang akan mengajukan permohonan.
Pihaknya mencontohkan, jika cicilan KPR per bulannya di atas Rp 1 juta, sementara gaji buruh maupun pekerja sekitar Rp 2 juta, maka hampir pasti permohonan tersebut akan ditolak oleh pihak bank, karena batas maksimal cicilan adalah 30 persen dari penghasilan mereka.
“Mengapa itu tidak ada yang mendaftarkan? karena upahnya tidak cukup untuk membayar cicilan,” sesal Irsad
Idealnya, sebut Irsad, harus ada revisi jaminan sosial sehingga ada jaminan perumahan yang berdiri sendiri. Solusi lainnya, dengan menaikkan upah buruh DIY, di kisaran Rp 3.5 juta – Rp 4 juta per bulan sebagaimana tuntutan mereka ke pemerintah.
Sebelumnya, pada 21 November lalu, Pemda DIY mengumumkan UMP DIY 2024 sebesar Rp 2.125.897,61 atau naik 7,27 persen dibandingkan tahun 2023 lalu. Penetapan UMP tersebut berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DIY No. 384 tahun 2023. Namun, MPBI DIY mendesak agar Gubernur merevisi UMP 2024 di angka Rp 3,7 juta dan Rp 4 juta per bulan. (Rep-01)