Audiensi Serikat Buruh dengan anggota DPRD DIY, pada Jumat (18/10/2019). (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Selisih antara penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) maupun Upah Minimum Provinsi (UMP) dengan hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) membuat sebagian besar buruh di DIY dan keluarganya masih mengalami defisit ekonomi. Selisihnya rata-rata mencapai Rp 900 ribu per wilayah.
Hal tersebut sebagaimana disampaikan juru bicara serikat buruh/pekerja DIY, Irsyad Ade Irawan saat melakukan audiensi dengan anggota DPRD DIY, pada Jumat (18/10/2019).
Menurutnya, selama ini, survei KHL angkanya selalu lebih tinggi daripada penetapan upah minimum. “Upah yang selalu murah atau rendah berdampak pada kemiskinan dan ketimpangan,” anggapnya.
Pihaknya mencontohkan, dengan UMP Rp 1.676.280,- per bulan di tahun 2019 ini, membuat kebanyakan buruh harus berhutang, dan mengurangi gaya hidup, seperti pendidikan, rekreasi, fashion, hingga tempat tinggal yang layak sebagaimana diatur dalam Permenaker No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen KHL.
“Bagi buruh yang hanya digaji UMP DIY 2019 untuk mencukupi kebutuhan hidup layak saja repot, apalagi menyisihkan untuk ditabung,” tegasnya.
Untuk itu, pihaknya mendesak agar Gubernur DIY dapat menetapkan UMP/UMK 2020, dengan didasarkan pada hasil survei KHL 2019, dengan besaran antara Rp 2.5 juta – Rp 2.7 juta per bulan.
Selain itu, mereka juga menolak penerapan Peraturan pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan sebagai dasar penetapan UMK DIY. Sebab, PP tersebut dianggap sebagai salah satu penyebab rendahnya upah buruh/pekerja di DIY.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY, Arianto Wibowo menjelaskan bahwa sejak tahun 2016, pemerintah memang tidak melakukan survei KHL. Hanya saja, perhitungan Upah Minimum salah satunya didasarkan pada hasil survei KHL tahun 2015 sebagaimana diatur dalam PP No 78 Tahun 2015.
Namun demikian, Bowo menambahkan, tahun 2020 merupakan tahun terakhir perhitungan UMK/UMP menggunakan dasar PP tersebut. Sedangkan di tahun 2021, perhitungan akan didasarkan pada hasil survei KHL 2020 yang ditetapkan oleh Dewan Pengupahan DIY.
“Memang ada kesempatan untuk melakukan survei (KHL) ulang, sehingga peluangnya (mengusulkan) di situ,” jelas Bowo.
Sementara Arif Hartono, anggota Dewan Pengupahan DIY dari perwakilan akademisi mengungkapkan, komponen dari Dewan Pengupahan itu terdiri dari pemerintah, pengusaha, serikat buruh, dan akademisi sehingga semestinya ada konsolidasi yang baik dari masing-masing perwakilan tersebut.
Pihaknya justru berpendapat bahwa DIY perlu membuat naskah akademik yang bagus untuk diusulkan ke Dewan Pengupahan Nasional sehingga masalah pengupahan yang terjadi selama ini bisa teratasi.
“Kalau tidak ada naskah akademik yang sistematik dan bagus, maka tidak akan pernah terjadi perubahan apa-apa,” tegas Dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.
Sebab, lanjut Arif, yang menjadi penentunya ada di Dewan Pengupahan Nasional, sehingga daerah tidak bisa berbuat banyak.
Sedangkan anggota DPRD DIY, Kuswanto yang menemui para buruh menyatakan, pihaknya akan menunggu paparan tertulis yang lebih konkrit sebagai landasan untuk tindaklanjut atas aspirasi mereka. (Rep-01)