UU ITE Hasil Revisi Kedua Dianggap Mengecewakan

Direktur PR2 Media, Masduki (kanan) saat menghadiri RDP tentang revisi kedua UU ITE, di gedung DPR RI Jakarta. (dok. istimewa)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Direktur Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2 Media), Masduki mengaku kecewa dengan pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan kedua atas atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pada 4 Januari 2024 lalu.

Bacaan Lainnya

Masduki mengatakan, pernah diundang oleh Komisi 1 DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), sekitar bulan Agustusd2023. Dalam forum tersebut, pihaknya menyampaikan usulan perubahan atau perbaikan untuk penyempurnaan Pasal 15 Pasal 40 UU ITE. Sebab, itu merupakan momentum revisi kedua tersebut. Namun pada kenyataannya, tidak ada perubahan yang signifikan pada pasal-pasal tersebut.

“Oleh karena itu, kami tidak menyambut baik pengesahan ini. Kami sedih dan kecewa, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, selain berharap akan ada momentum revisi berikutnya lagi,” kata Masduki kepada kabarkota.com, pada Sabtu (6/1/2024).

Guru Besar Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini mengungkapkan, usulan perubahan pasal itudidasarkan pada masalah bahwa selain mengancam kebebasan berekspresi, dalam arti potensi pemidanaan pencemaran nama baik yang banyak memakan korban jurnalis, sekaligus juga sebagai penguatan permintaan tanggung jawab dari publik terhadap platform digital.

Pihaknya memaparkan, usulan perubahan pasal 15 karena ketika bicara tentang keruhnya konten, seperti disinformasi dan potensi kritik yang bisa dibelokkan menjadi pencemaran nama baik dengan menggunakan UU ITE, di balik itu sebenarnya ada peran dari platform digital yang tidak maksimal dalam memitigasi konten-konten tersebut. Sementara, platform digital seperti Facebook, Twitter/X, dan YouTube itu kendalinya bukan di Indonesia, melainkan di Amerika.

Ia menambahkan, belajar dari berbagai regulasi di Eropa Barat, seperti Jerman dan negara-negara Skandinavia, maka problem dari keseluruhan persoalan tentang resiko kriminalisasi di media sosial itu tidak hanya semata-mata dari upaya politisasi atau intervensi politik terhadap media sosial, tetapi juga lemahnya praktik moderasi konten oleh platform digital.

Platform digital itu memosisikan diri hanya seperti outlet atau pasar, tanpa ada pertanggung-jawaban tentang moderasi konten yang mereka lakukan,” sambungnya.

Selama ini, kata Masduki, publik tidak pernah mengetahui bagaimana sistem seleksi yang terapkan oleh para pengelola platform digital dalam menayangkan sebuah konten. Termasuk, ketika sebuah berita diagregasi oleh platform seperti Google, publik juga hampir tidak pernah mempertanyakan berapa keuntungan yang mereka bagikan ke media ciber lokal.

“Jadi sebenarnya tanggung jawab ekonomi, politik, dan verifikasi konten ada di platform digital. Oleh karena itu kami meminta agar revisi UU ITE, tetutama pasal 15 agar ada penegasan tentang tanggung jawab platform,” Masduki menegaskan.

Sedangkan di Pasal 40, Masduki cenderung sepakat dengan pernyataan sikap dari Koalisi Serius Revisi UU ITE yang pada intinya bahwa pemerintah memang menjadi otoritas yang Paripurna supaya proses penyelesaian kasus-kasus tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah secara eksklusif, tetapi perlu ada uji pengadilan.

“Kami setuju bahwa memang ada masalah partisipasi yang tidak balik dalam legislasi kita,” sesal Masduki.

Koalisi Serius Tolak Pengundangan Revisi Kedua UU ITE

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) menilai, masih adanya pasal-pasal karet dan penambahan pasal baru pada revisi kedua UU ITE justru sangat berbahaya karena dapat memperpanjang ancaman bagi publik untuk mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia.

“UU ITE di Indonesia adalah salah satu contoh tren di dunia bagaimana undang-undang terkait kejahatan dunia maya disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers”, tulis Koalisi Serius dalam siaran persnya, pada 4 Januari 2024.

Koalisi Serius sejak awal menyoroti tertutupnya proses revisi sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik. Kurangnya transparansi ini menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan segelintir elite saja, dibandingkan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.

Alih-alih menghilangkan pasal yang selama ini bermasalah, koalisi menemukan bahwa perubahan Undang-undang ini masih mempertahankan masalah lama. Pasal-pasal bermasalah itu antara lain Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil; Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik; hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.

DPR bersama Pemerintah juga menambahkan ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. Ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran.

Selain itu, ada juga pasal 28 ayat 3 dan pasal 45A ayat (3) tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru. Pasal ini berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini.

“Hasil revisi kedua UU ITE juga masih mempertahankan Pasal 40 yang memberikan kewenangan besar bagi pemerintah dalam memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan dan melanggar hukum,” sesal mereka.

Oleh karenanya, Koalisi Serius secara tegas menolak pengundangan Revisi Kedua UU ITE oleh DPR RI karena telah mengabaikan partisipasi publik dan terus melanggengkan pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berekspresi dan pelanggaran HAM lainnya.

“Kami juga mendesak pemerintah dan DPR RI menerapkan partisipasi publik yang bermakna dalam setiap pengambilan keputusan.” tegas mereka. (Rep-01)

Pos terkait