Diskusi Publik Pro dan Kontra Pilkada Langsung vs via DPRD, di Kantor Muhammadiyah, Sabtu (27/9). (Tria/kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Sidang Paripurna DPR RI, Jumat (26/9) dini hari kemarin, telah mengetok palu tanda pengesahan Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) yang menjadi perdebatan publik.
Bahkan hingga kini, sorotan terhadap keberadaan Undang-Undang yang salah satu poinnya memberikan opsi Pilkada tidak langsung masih berlansung. Termasuk, dari kalangan anggota dewan di tingkat daerah.
Anggota DPRD DIY, Eko Suwanto dari pihak yang kontra terhadap Pilkada tidak langsung menganggap bahwa selama ini Pilkada langsung merupakan perwujudan kedaulatan dan partisipasi rakyat secara nyata, dalam pesta demokrasi tersebut.
"Dengan Pilkada langsung, semangat gotong royong di desa-desa dan kampung-kampung kembali terbangun," kata Eko dalam Diskusi Pro dan Kontra Pilkada Langsung vs Via DPRD, di Kantor Muhammadiyah DIY, Sabtu (27/9).
Eko juga menyebutkan, tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilkada langsung juga relatif lebih tinggi.
"Partisipasi itu tidak hanya pada saat datang ke TPS, tetapi juga sumbangan yang mereka berikan agar calon kepala daerah tersebut bisa diusung dan terpilih," tambah politisi PDIP tersebut.
Ia mencontohkan, sejumlah kepala daerah produk Pilkada langsung yang mendapatkan dukungan publik secara langsung, diantaranya, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Bima Arya, Ganjar Pranowo, Jokowi, dan Herry Zudianto.
Terkait kekhawatiran adanya money politik, Eko berpendapat, politik uang itu muncul justru karena para calon kepala daerah tidak pernah turun ke masyarakat secara langsung. Mereka datang secara mendadak sehingga memicu ternyadinya politik transaksional.
"Tidak bisa disalahkan masyarakatnya juga," tegas dia. Menurutnya, yang menjadi PR bersama saat ini adalah pendidikan politik kepada masyarakat.
Sementara, Arif Noor Hartanto yang juga Anggota DPRD DIY pendukung Pilkada tak langsung menyampaikan, dalam menyikapi pengesahan UU Pilkada ini semestinya unsur fikihnya yang lebih didahulukan. Dalam artian, kata dia, untuk mengurangi madzarat (kebutukan) yang lebih besar.
Ketika Pilkada tak langsung dulu pernah diterapkan, sebut dia, memang sempat terjadi kebrutalan di Parlemen. Namun dengan Pilkada langsung, justru itu juga terjadi sampai di masyarakat.
Oleh karenanya, Politisi PAN ini mengusulkan sejumlah gagasan untuk perbaikan di tingkat Parpol, DPRD, maupun masyarakat, pasca pengesahan UU Pilkada.
Di internal Parpol, kata Arif, perlu adanya perbaikan sistem dan mekanisme rekrutmen maupun seleksi calon kepala daerah yang ditentukan secara transparan dengan melibatkan masyarakat secara terbuka.
"Ini penting untuk menghindari proses jual-beli suara nantinya," sebut dia.
Di internal DPRD, harus meniadakan politik balas budi dan transaksional atau pun suap menyuap, serta mampu membangun relasi politik dengan eksekutif, dengan berasaskan norma perundang-undangan.
Sedangkan bagi masyarakat, perlu mengoptimalkan partisipasinya, tidak hanya pada saat menggunakan hak pilihnya, tetapi juga dalam mengawal proses pembuatan kebijakan, serta pengawasan terhadap kinerja kepala daerah terpilih.
"Relasi politik antara masyarakat dengan parpol semestinya juga dibangun dengan lebih baik," pinta Arif.
SUTRIYATI