Ilustrasi (kontan.co.id)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Salah satu goal yang ingin dicapai pemerintah dalam pemberlakuan Undang-Undang Tax Amnesty (pengampunan pajak) adalah memboyong pulang dana dan aset Warga Negara Indonesia (WNI) yang ada di luar negeri (repatriasi), dengan harapan bisa mendukung pembangunan dalam negeri.
Namun, perhitungan pemerintah agaknya meleset. Pasalnya, dana repatriasi yang digadang-gadang menambah penerimaan negara ratusan triliun, hingga kini masih sangat jauh dari harapan. Imbasnya, masyarakat umum justru dibuat resah karena seolah menjadi sasaran pemerintah untuk memenuhi target tersebut.
Karenanya, melalui sejumlah media, Minggu (28/8/2016), Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (MHH PP) Muhammadiyah menyatakan akan mengajukan judicial review (JR) atas undang-undang tersebut. Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas berpendapat bahwa perumusan UU harus jelas arah tujuannya, serta memenuhi prosedur demokrasi.
Menurutnya, tax amnesty tersebut tidak memiliki sasaran jelas. Akibatnya masyarakat umum juga terkena sasaran tersebut menjadi resah sehingga harus dievaluasi implementasinya. Selain itu, naskah akademik UU Pengampunan Pajak juga tidak pernah dikemukakan secara langsung ke publik terutama kalangan akademis. Sehingga, masyarakat tidak bisa memberikan kritisi atas naskah tersebut.
Pengamat ekonomi UGM, Fahmi Radhy menilai, langkah PP Muhammadiyah sudah tepat, dan patut diapresiasi, serta didukung oleh publik. Sebab, Fahmi juga menganggap bahwa tujuan UU Tax Amnesty itu sudah melenceng jauh.
“Awalnya ditujukan untuk mengembalikan dana orang Indonesia di luar negeri. Kini berbalik menjadi ancaman teror bagi wajib pajak gurem di dalam negeri,” kata Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM ini saat dihubungi kabarkota.com, Senin (29/8/2016).
Padahal menurutnya, wajib pajak Gurem di dalam negeri, selama ini termasuk yang taat membayar PBB, PPN, dan PPh. Hanya karena target penerimaan pajak dengan UU Tax Amnesty tidak tercapai, lalu wajib pajak kelas gurem yang menjadi sasaran dengan berbagai ancaman denda besar dan hukuman pidana. Sementara, orang-orang kaya Indonesia yang masih menyimpan hartanya di luar negeri tak tersentuh kebijakan tersebut.
“Langkah pemerintah ini sangat tidak fair,” tegasnya.
Berdasarkan data yang dihimpun kabarkota.com dari laman katadata, nilai tebusan tax amnesty per 29 Agustus 2016 ini mencapai Rp 2,1 triliun. Meski jumlahna naik signifikan dibandingkan posisi akhir pekan lalu yang baru mencapai Rp 1,3 triliun namun tetap saja masih jauh dari target pemerintah yang dipatok Rp 165 Triliun.
Data juga menunjukkan, nilai tebusan tertinggi berasal dari tebusan harta orang pribadi non UMKM sebesar Rp 1,7 triliun. Tebusan lain yang bernilai cukup besar berasal dari badan non UMKM sebesar Rp 199 miliar.
Lebih lanjut Fahmi berharap, agar dalam judicial review itu nantinya memuat pasal-pasal perlindungan bagi wajib pajak gurem, dengan menyebutkan pembatasan minimal dana/asset yang menjadi sasaran tax amnesty.
Sementara dari pihak pemerintah melalui Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung, sebelumnya juga mengaku siap menghadapi gugatan atau judicial reviewyang diajukan atas UU Tax Amnesty itu.
“Orang mempunyai hak untuk melakukan judicial review. Tetapi pemerintah dalam hal ini secara sungguh kalau memang ada judicial review dan memang sudah ada, sudah didaftarkan, kami juga akan siap untuk menghadapi gugatan tersebut,” ujar Promono seperti dikutip laman setkab, 15 Agustus 2016. (Rep-03/Ed-03)