Ilustrasi (dok. Kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) –
Lahirnya Undang-undang Keistimewaan (UUK) DIY di satu sisi memberikan angin segar bagi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman karena menjadi Badan hukum yang miliki hak atas tanah Keprabon maupun non keprabon di DIY, dengan menggunakan Dana Keistimewaan (Danais).
Salah satunya tertuang dalam pasal 33 ayat 1 UUK DIY, yang pada intinya mengamanatkan agar hak milik atas tanah tersebut didaftarkan pada lembaga pertanahan, yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Berdasarkan Rekapitulasi Hasil Inventarisasi Tanah Kasultanan dan Ranah Kadipaten Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Provinsi DIY, jumlah yang telah didata sebanyak 14.044 bidang tanah milik Kasultanan dan Kadipaten. Dari jumlah tersebut, 7.969 bidang diantaranya telah didaftarkan, dan 3.897 sudah bersertifikat.
Tak hanya Sultan Ground (SG) dan Paku Alam Ground (PAG) yang diinventarisir. Tanah desa se-DIY juga didata. Hasilnya per 2018 sebanyak 50.123 bidang, dengan luasan 247.462.182 meter persegi. Dari jumlah itu, 13.068 bidang dengan luas 61.689.376 meter persegi juga telah bersertifikat.
Sementara di sisi lain, masalah pertanahan pasca disahkannya UU No 13 Tahun 2012 itu juga memicu munculnya konflik agraria di DIY. Direktur Pusat Studi Keistimewaan DIY Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, Kus Sri Antoro memaparkan, setidaknya ada 20 konflik agraria yang ia petakan hingga sekarang.
Pihaknya mencontohkan, megaproyek bandara baru di Kulon Progo yang mengakibatkan enam desa dengan 11 ribuan jiwa penduduk terdampak hingga memunculkan perlawanan dari sebagian warga, sejak tahun 2012 hingga kini. Masih di Kulon Progo, megaproyek pertambangan pasir besi dan pembangunan pabrik baja dengan luasan 22 km x 1.8 km juga mendapatkan penolakan dari Paguyuban Petani Lahan Pasir Kulon Progo (PPLP-KP), sejak 2006 hingga sekarang.
Klaim tanah SG di atas tanah hak milik warga dengan dalih Dijksblad No 16/1918 dan UUK DIY juga berdampak pada munculnya berbagai permasalahan baru di masyarakat, seperti ancaman penggusuran, dan penolakan permohonan Sertitikat Hak Milik (SHM) tanah, serta penarikan SHM dengan alasan pembaruan sertifikat.
Kus mensinyalir, munculnya berbagai persoalan, termasuk pertahanan pasca terbitnya UU tersebut tak lepas kurangnya pemahaman dalam memaknai UUK DIY sebagaimana yang dimaksud oleh pemerintah.
Menurut Kus, berdasarkan heirarki hukum, UUK DIY merupakan turunan dari UUD 1945 dan UU tentang Pemerintahan Daerah.
“UUK DIY memang lex specialist dari undang-undang Pemerintah Daerah, tapi bukan UU HAM, UU Kehutanan, UU Penghapusan Diskriminasi Ras/Etnis, UU Pokok Agraria, UU Penataan Ruang, UU Desa, dan UU Anti Korupsi,” jelas Kus kepada kabarkota.com, Sabtu (3/8/2019).
Oleh karena itu, pihaknya berpendapat bahwa seharusnya untuk urusan pertanahan, semestinya UUK DIY tunduk pada UU Pokok Agraria. Namun, saat ini yang digunakan hanya pasal tentang legalisasi tanah saja, sedangkan struktur penguasaan tanahnya tak dipakai dalam UU No 13 Tahun 2012.
Lebih lanjut Kus juga menganggap, inventarisasi tanah Kasultanan dan Kadipaten yang dilakukan itu memanfaatkan ketidak-pahaman masyarakat tentang SG dan PAG.
“Lancar? Iya lancar, karena yang didata tidak tahu maknanya apa,” ucapnya.
Berdasarkan Perda Istimewa (Perdais) No 1 Tahun 2017, SG dan PAG terbagi atas tanah keprabon dan non keprabon. Tanah keprabon berupa petilasan dan lain-lain di wilayah DIY maupun luar DIY. Sedangkan tanah non keprabon, diantaranya tanah yang belum digunakan, tanah tanpa kekancingan, tanah dengan kekancingan, dan tanah desa (kas desa, pelungguh; pengarem-arem, dan tanah untuk kepentingan umum).
Sebelumnya, pada 2 Agustus 2019, Kepala Bidang Penata-usahaan dan Pengendalian Pertanahan Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY, Agus Triyono Junaedy mengatakan, proses inventarisasi telah mereka lakukan sejak tahun 2015 lalu, dan proses pendaftaran ditargetkan selesai pada 2021 mendatang.
Agus mengaku, tak mengalami kendala berarti selama proses tersebut. Meskipun terkadang pihaknya perlu memberikan penjelasan kepada sebagian masyarakat yang masih menganggap bahwa tanah yang sudah ditempati selama lebih dari 20 tahun berturut-turut kemudian diklaim sebagai hak milik mereka. Padahal, itu hanya berlaku untuk tanah-tanah Negara.
“Tapi di Yogyakarta, kita sudah sepakat tidak ada tanah Negara bebas di sini.Tanah-tanah yang belum dilengkapi hak adalah domain tanah kasultanan dan kadipaten sesuai dengan hak asal-usulnya,” tegas Agus. (Rep-01/Ed-02).